Bacaini.ID, KEDIRI – Soto yang dikenal sebagai hidangan khas Indonesia ternyata bukan asli Nusantara.
Kuliner soto terungkap hasil akulturasi dan asimilasi budaya pada saat para perantau asal Tiongkok menjejakkan kaki di Nusantara.
Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa: Batas-Batas Pembaratan, berpendapat soto produk asimilasi budaya dan modifikasi praktik kuliner Kanton.
Kuliner yang menampilkan kaldu berbumbu yang berasal dari daging dan jeroan. Nama ‘soto’ diyakini berasal dari istilah Kanton ‘cau do’ atau ‘jau to’ yang berarti jeroan berbumbu.
Dikutip dari Foodies, secara historis soto muncul pada abad ke-19 ketika masyarakat kelas menengah dan bawah tidak mampu membeli daging.
Maka terciptalah hidangan berbahan dasar kaldu yang lezat yang kemudian populer dengan soto.
Menurut Fadly Rahman, sejarawan dari Universitas Padjajaran, nama ‘soto’ dan jeroan sapi di dalamnya, mencerminkan pengaruh budaya Tionghoa.
Fadly Rahman dalam penelitiannya menemukan catatan Belanda awal abad ke-19 yang menyebut soto sebagai hidangan lokal, terbuat dari jeroan sapi yang direndam dalam kaldu.
Dalam penelitian lain yang dipublikasikan oleh Journal of Ethnic Foods, Semarang merupakan tempat awal perkembangan soto pada abad ke-19.
Hal ini dikarenakan Semarang memiliki kedudukan yang kuat sebagai daerah penghasil daging dengan harga murah.
Bahan utama yang digunakan untuk meracik soto adalah jeroan sapi atau babat sapi yang diolah dan ditambahkan ke dalam kuah soto.
Karena jeroan sapi atau babat sapi tidak digunakan dalam resep makanan kolonial Belanda, catatan soto pada masa itu sangat terbatas.
Penggunaan jeroan dalam masakan dianggap tidak higienis oleh bangsa Eropa.
Penyebaran resep soto di Jawa terjadi secara langsung dan tidak langsung. Dari mulut ke mulut, demontrasi langsung hingga lewat media cetak.
Sementara adanya varian soto di Jawa yang beragam berasal dari kreativitas individu yang didasarkan kebiasaan budaya masing-masing daerah.
Tidak heran kemudian muncul soto Lamongan, soto Madura, soto Betawi maupun soto di wilayah Mataraman yang berkuah bening dan berasa lebih manis.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif