Pada forum Webinar Nasional “ Potensi Energi Terbarukan Untuk Ketahnan Energi Nasional” yang diselenggarakan Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Mercu Buana Jakarta, pada tangganl 3 Februari 2021 dalam rangka Hari Jadi Fakultas Teknik Mesin Unersitas Mercu Buana Jakarta, Plt. Kepala Divisi Hukum yang sekaligus merangkap Kepala Divisi Formalitas dan Ketua One Door Service Policy SKK Migas DR (Cand) Didik Sasono Setyadi, SH, MH menyampaikan “Jangan kita terlena pada euphoria EBT saja, yang terpenting adalah siapkan tata kelolanya dengan baik”.
Didik menegaskan bahwa sumber energi baru dan terbarukan itu terbagi menjadi dua, yaitu sumber energi milik publik (public domain) seperti Panas Bumi, Angin, Terjuanan Air, Surya, Bayu, Gelombang Laut yang melekat pada alam dan wilayah kedaulatan Republik Indonesia, serta sumber yang merupakan milik privat (private domain) seperti Kotoran Hewan, CPO, Sampah dan semacamnya. Tentu saja tata kelolanya harus dibedakan.
Pada sumber yang merupakan public domain jelas keterlibatan negara harus ada, karena amanah konstitusi mengatakan bahwa benda-benda publik itu dikuasai oleh negara. “Tinggal dirumuskan bagaimana bentuk penguasaan negara atas public domain ini?”. Belajar dangan Pengelolaan sumber daya alam / energi minyak dan gas bumi telah banyak model yang pernah diterapkan untuk melakukan Pengelolaan sumber energi ini “Tinggal diambil yang baik-baik dan dibuang yang kurang baik” tambahnya. Didik juga mengingatkan ada perbedaan yang sangat mendasar antara pengembangan EBT dengan sumber daya alam migas, yaitu EBT ini orientasinya lebih pada ketersediaan energi dan efisiensi APBN, beda dengan Migas yang dulu dikembangkan untuk meningkatkan penerimaan Negara APBN. Adapun selebihnya kurang lebih sama, yaitu bahwa tetap ada aspek bisnis dalam kegiatan pengembangan EBT.
Dari sisi produk EBT, Didik juga menguraikan dan mengingatkan bagaimana Tata Kelola penjualan produk EBT ini. “Produknya kan bisa berupa listrik ataupun non listrik, lantas produknya apakah bisa langsung dijual ke konsumen atau harus melalui PLN dan atau Pertamina, seperti listrik dari EBT atau biofuel yang sudah ada saat ini? Inilah pentingnya Tata Kelola untuk menjawabnya” tukasnya.
Keberadaan EBT sampai beberapa puluh tahun kedepan menurut perkiraan Didik sifatnya masih komplementer terhadap energi fosil yang saat ini masih mendominasi. “Saya memperkirakan bahwa sampai beberapa puluh tahun kedepan EBT ini masih menjadi komplementer dalam bauran energi, ketimbang substitusi bagi energi primer yang berasal dari fosil” Meskipun demikian menurut pejabat SKK Migas yang juga dikenal sebagai seorang seniman pelukis ini, pengembangan EBT sebagai pengganti energi fosil itu merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan, sebab secara teoritis semua orang juga tahu dan percaya bahwa energi fosil pada saatnya akan habis.
Tantangan terbesar pengembangan EBT saat ini adalah ke-ekonomisan, disamping stabilitas Negara dan kepastian hukum. “Saya kira tantangan pengembangan EBT ini sama dengan tantangan pengembangan Industri Hulu Migas dalam hal-hal tersebut, hanya bedanya di EBT potensi cadangannya sangat sedikit yang sudah tereksploitasi, sementara Industri hulu migas usianya sudah cukup matang, karena sudah lebih dari 100 tahun” tambahnya.
Didik menantang dunia kampus agar mampu mengembangkan Iptek untuk menciptakan investasi yang efisien bagi pengembangan EBT, sehingga dengan demikian EBT menjadi lebih menarik dan lebih murah untuk dikembangkan. Didik menyinggung ada berita bahwa untuk PLTS sudah ada teknologi yang mampu menghasilkan listrik sehingga harga jualnya bisa sekitar 4 sen dollar, sehingga lebih murah dari batu bara apalagi gas bumi. Hal ini tentu merupakan berita gembira terhadap penyediaan energi yang murah bagi rakyat, namun demikian sekali lagi tata kelolanya harus disiapkan agar kebijakan energi nasional bisa saling bersinergi, tidak malah salih bertabrakan satu dengan yang lain.
Webinar tersebut juga menghadirkan Harris Yahya, Diektur Aneka Energi Baru dan Terbarukan, Kementerian ESDM, serta Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch.
Penulis: Didik Sasono Setyadi*
*) Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, sedang menempuh Program Doktor Ilmu Pemerintahan, Chairman Airlangga Law and Governance Institute