Bacaini.ID, KEDIRI – Soe Hok Gie. Ia merupakan pemuda aktivis dan sekaligus sejarawan. Seorang penulis sejarah yang tidak pernah membiarkan terpasung dalam tarikan sikap pro dan kontra.
Gie selalu mengedepankan rasionalitas. Begitu yang diungkapkan Ahmad Syafii Maarif dalam kata pengantar buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan karya Soe Hok Gie.
“Rasionalitas dan pertimbangan yang jernih merupakan acuan dalam menyusun karya ini,” kata Ahmad Syafii Maarif seperti dikutip Bacaini.id Rabu (17/12/2025).
Baca Juga:
- Profil Mochtar Lubis, Jurnalis “Penggonggong” Rezim Penindas
- Profil Mas Marco Kartodikromo, Jurnalis yang Haram Menjilat Kekuasaan
Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan merupakan skripsi Soe Hok Gie dalam meraih gelar sarjana di jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia Tahun 1969.
Judul aslinya Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948. Kemudian saat dibukukan diubah menjadi Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Dalam kata pengantarnya, Ahmad Syafii Maarif juga memuji Soe Hok Gie sebagai seorang penulis dan sejarawan muda yang berbakat. Sayang, usianya tidak panjang.
Kelahiran Jakarta 17 Desember 1942 itu merupakan adik kandung Arief Budiman (Soe Hok Djin). Ayahnya bernama Salam Sutrawan (Soe Lie Piet) dan ibunya Nio Hoey An.
Anak ke-4 dari 5 bersaudara itu terkenal keras kepala dalam berprinsip. Salah satunya urusan nama. Gie kukuh bertahan dengan nama Tionghoanya. Menolak memakai nama Indonesia.
Soe Hok Gie aktif dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis dan Gerakan Pembaruan. Getol menentang praktek korupsi. Kritis terhadap penguasa, baik Orde Lama maupun Orde Baru.
Gie seorang demonstran sekaligus penulis. Piawai mengungkapkan pikirannya dalam artikel politik dan kebudayaan. Pikiran-pikiran yang selalu memihak rakyat dan menentang ketidakadilan penguasa.
Catatan Seorang Demonstran menjadi salah satu karyanya yang terkenal. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Di Bawah Lentera Merah dan Zaman Peralihan juga jadi rujukan yang tak kalah penting.
Soe Hok Gie seorang pecinta alam. Terutama gunung dan aktivitas pendakian. Bersama rekan-rekannya di kampus UI ia memelopori pendirian Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) pada November 1964.
Pada 16 Desember 1969 Gie mendaki gunung Semeru di Jawa Timur bersama beberapa rekan-rekannya. Ia ingin merayakan ulang tahunnya yang ke-27 di puncak gunung.
Namun sayang, semburan gas beracun Semeru menghalangi keinginannya. Soe Hok Gie menutup mata akibat menghirup gas beracun. Meninggal dunia sehari menjelang ultahnya yang ke-27.
Orang kemudian teringat ucapannya yang menyitir filsuf Yunani.
“Nasib baik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda”.
Kalau pada 17 Desember 2025 ini Soe Hok Gie masih ada, ia akan merayakan ultahnya yang ke-83 tahun. Met ultah Gie!.
Penulis: Solichan Arif





