Bacaini.ID, KEDIRI – Kasus bullying atau kekerasan di lingkungan pendidikan wilayah Provinsi Jawa Timur menunjukkan tren yang mengkhawatirkan sekaligus bikin geleng-geleng kepala.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menempatkan Jawa Timur sebagai provinsi paling banyak terjadi kasus kekerasan di sekolah.
Kendati demikian, kasus bullying di lingkungan pendidikan secara nasional diketahui juga meningkat dari tahun ke tahun.
JPPI menyebut sepanjang tahun 2024 terdapat 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan tingkat dasar dan menengah.
Maraknya kasus bullying tidak hanya terjadi di sekolah umum, tapi juga di lingkungan madrasah dan pondok pesantren.
Baca Juga:
- Bullying Massal Siswa SMP di Blitar Akhirnya Ditangani Polisi
- Polisi Tegaskan Kasus Bullying Massal Siswa di Blitar Jalan Terus
- Banner Penolakan Koperasi Merah Putih Muncul di Trenggalek
Jumlah kasus kekerasan yang ter-capture diperkirakan hanya ujung gunung es. Sebab diinput dari pemberitaan media massa dan kanal pengaduan JPPI.
Pada tahun 2025 terhitung hingga per November, JPPI melaporkan terdapat 601 kasus kekerasan di sekolah. Berikut jenis kekerasan yang terjadi.
• 41% kekerasan seksual
• 31% perundungan
• 11% kekerasan psikis
• 10% kekerasan fisik
• 6% kebijakan diskriminatif
Kebijakan diskriminatif yang dimaksud ini meliputi penolakan pendirian sekolah kelompok minoritas. Kemudian kewajiban atau pelarangan penggunaan jilbab, hingga pembatasan guru dan siswa minoritas.
Berikut 10 provinsi dengan kasus kekerasan teratas di lingkungan pendidikan sesuai data JPPI.
• Jawa Timur: 81 kasus
• Jawa Barat: 56 kasus
• Jawa Tengah: 45 kasus
• Banten: 32 kasus
• Jakarta: 30 kasus
• Nusa Tenggara Timur: 23 kasus
• Lampung: 23 kasus
• DI Yogyakarta: 23 kasus
• Sumatera Utara: 17 kasus
• Riau: 17 kasus
Menurut JPPI, peningkatan jumlah kasus kekerasan di lingkungan pendidikan secara umum mengindikasikan sekolah belum sepenuhnya menjadi ruang aman bagi anak-anak.
Selain itu ditemukan fakta bahwa kecenderungan pihak lembaga pendidikan, baik sekolah umum, madrasah maupun pesantren masih relatif cenderung menutup-nutupi kasus yang terjadi.
Kemudian juga penanganan kasus kekerasan atau bullying yang terjadi hanya bersifat administratif atau hanya diselesaikan secara kekeluargaan.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif





