Pada Senin, 24 November 2025, Anita tanpa sengaja meninggalkan cooler bag berisi pompa ASI dan tumbler di KRL. Barang itu ditemukan di Stasiun Rangkasbitung, bahkan sempat difoto oleh petugas. Namun, ketika Anita dan suaminya mengambilnya keesokan hari, tumbler yang sebelumnya ada di foto justru hilang.
Pegawai KAI yang menerima barang mengatakan tidak memeriksa isi saat serah terima. Merasa keberatan, Anita menuntut agar rekaman CCTV dibuka. Seorang pegawai baru bernama Argi mencoba membantu dengan membeli tumbler pengganti melalui Shopee, tetapi tawaran itu ditolak.
Anita memutuskan membawa persoalan itu ke publik melalui media sosial, berharap mendapat dukungan warganet atas peristiwa yang dialami. Unggahan itu viral dan mampu menekan PT KAI. Di media sosial, beredar kabar bahwa Argi dipanggil ke kantor dan bahkan diisukan dipecat.
Namun tidak dengan warganet. Mereka justru membela Argi, dan menilai bahwa kesalahan bermula dari kelalaian penumpang, bukan pegawai.
Direktur Utama PT KAI, Bobby Rasyidin, akhirnya memberi klarifikasi. Argi tidak dipecat dan tetap bertugas.
Namun polemik ini sudah terlanjur melebar. Anita dan suaminya mengunggah video permintaan maaf, mengakui bahwa respons mereka tidak bijak.
Bola berbalik kepada pengunggah postingan. Perusahaan tempat Anita bekerja mengambil langkah tegas dengan memberhentikannya pada 27 November 2025.
Mediasi dilakukan antara Anita, Alvin, dan Argi. Mereka sepakat menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Argi kembali mendapat pekerjaannya, tetapi tidak dengan Anita.
Kasus tumbler ini adalah contoh nyata trial by social media. Netizen bertindak sebagai hakim, jaksa, sekaligus juri. Meski bukti yang beredar hanyalah foto dan narasi yang viral, bukan investigasi resmi, namun dalam hitungan jam, opini publik terbentuk. Asas praduga tak bersalah terabaikan.
Peneliti komunikasi Universitas Syiah Kuala, Nadia Muharman dalam jurnalnya menyebut, “cancel culture adalah bentuk kontrol sosial di media sosial, di mana masyarakat menggunakan ruang digital untuk menegakkan norma dan memberi sanksi pada perilaku yang dianggap menyimpang.”
Cancel culture memperkuat efek domino dari trial by social media. Tekanan publik membuat perusahaan Anita mengambil langkah tegas, meski KAI membantah isu pemecatan Argi.
“Media memiliki peran besar dalam memperkuat cancel culture, karena viralitas membuat sanksi sosial terasa lebih cepat dan lebih keras dibandingkan mekanisme tradisional,” kata Graciela Bianca Jaafar dari Universitas Gunadarma.
Apa yang bisa kita pelajari dari peristiwa tersebut?
Di balik tumbler yang hilang, ada manusia yang kehilangan pekerjaan. Ada pegawai baru yang harus menghadapi isu pemecatan. Ada keluarga yang menanggung stigma akibat penghakiman publik.
Kita jarang melihat sisi ini karena terlalu sibuk menertawakan atau menghujat. Insiden tumbler adalah cermin betapa rapuhnya posisi individu di hadapan kuasa media sosial.
Ini menjadi pengingat bahwa media sosial adalah pisau bermata dua, yang bisa mendorong akuntabilitas, sekaligus melahirkan ketidakadilan.
Penulis: Hari Tri Wasono*
*)Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Al-Azhar Indonesia





