Bacaini.ID, KEDIRI – Indonesia pernah memiliki pasukan perang yang terdiri dari para janda dan kehadirannya begitu ditakuti penjajah kolonial.
Pasukan janda dari Aceh itu terkenal dengan nama Inong Balee. Ketangguhan mereka mengubah sejarah sekaligus memperkuat posisi perempuan dalam struktur sosial dan budaya.
Laksamana Malahayati, Pelaut Perempuan Tangguh
Ombak Selat Malaka menjadi saksi sejarah ketangguhan Laksamana Malahayati, satu-satunya Laksamana perempuan dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.
Baca Juga:
- Alasan Kota Blitar di Masa Kolonial Bermotto Kerja Mengalahkan Segalanya
- Cerita Bupati-bupati Mataraman “Jongos” Kolonial Belanda dalam Perang Jawa
- Kisah Dipenggalnya Kepala Maling Gentiri, Upaya Belanda Menjauhkan Pemimpin dari Rakyatnya
Lahir bernama Keumalahayati di 1 Januari 1550 dari keturunan para pejuang laut. Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah, dan kakeknya dari garis ayah adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 Masehi.
Keturunan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam itu dibesarkan dalam lingkungan yang mengutamakan pendidikan militer dan seni perang, menjadi pondasi awal Keumalahayati atau yang lebih dikenal sebagai Malahayati, menjadi panglima angkatan laut.
Sejak kecil ia mendapat pendidikan yang sangat baik, termasuk ilmu agama, sastra, pemerintahan, dan yang jarang bagi perempuan pada masanya: ilmu perang dan strategi maritim.
Malahayati menikah dengan seorang laksamana bernama Muhammad Amin Syah, putra Sultan Alauddin Riayat Syah.
Namun di tahun 1599 dalam pertempuran laut melawan armada Portugis di Teluk Haru, dekat Banda Aceh, suaminya gugur bersama ribuan prajurit Aceh lainnya.
Tragedi ini tak menghancurkan Malahayati, justru membakar semangatnya. Ia bersumpah akan membalas dendam dan melindungi tanah airnya.
Armada Inong Balee: Pasukan Janda yang Ditakuti Lautan
Sultan Alauddin Riayat Syah Said Perkasa Alam (1589-1604) mengabulkan permintaan menantunya, Malahayati, untuk membentuk armada khusus yang terdiri dari para janda prajurit yang gugur.
Armada ini dinamakan Inong Balee, yang artinya ‘para janda’ dalam bahasa Aceh. Pasukannya bukan sekadar perempuan biasa, mereka adalah prajurit terlatih yang menguasai senjata api, pedang, tombak, dan taktik perang laut.
Malahayati sendiri diangkat menjadi Laksamana pertama Armada Inong Balee dengan pangkat lengkap Laksamana Keumalahayati.
Markasnya berada di benteng Inong Balee yang masih bisa dikunjungi hingga kini di Gampong Lampulo, Banda Aceh.
Armada Inong Balee bukanlah pasukan receh. Mereka dikenal dan membuat ketar-ketir armada kolonial Eropa. Belanda dan Inggris, mengakuinya.
Mereka menjuluki Laksamana Keumalahayati dengan ‘Admiral Malahayati’. Kemenangan-kemenangan gemilang telah diraih ‘pasukan janda’ ini, di antaranya:
• Mengusir Belanda dari Aceh (1599-1601)
Pada 1599, armada Belanda di bawah Cornelis de Houtman dan adiknya Frederick de Houtman mencoba mendirikan loji di Aceh. Malahayati memimpin serangan kilat.
Dalam pertempuran laut yang sengit, Cornelis de Houtman tewas terbunuh. Frederick ditawan selama dua tahun sebelum akhirnya ditebus.
• Pertempuran melawan Portugis di Selat Malaka
Malahayati beberapa kali memimpin serangan ke kapal-kapal Portugis yang mengganggu jalur perdagangan Aceh. Salah satu kapal perang Aceh legendaris di bawah komandonya bernama Cakra Donya, kapal besar bersenjata meriam yang membuat armada Eropa kewalahan.
• Inggris Pilih Jalur Damai (1602)
Ketika kapal Inggris di bawah James Lancaster mencoba mendekati Aceh, Malahayati memimpin negosiasi dari atas kapalnya sendiri dengan sikap tegas. Inggris akhirnya mengakui kedaulatan Aceh dan meminta izin berdagang, bukan menduduki.
Reputasi Malahayati membuat Inggris tidak mau bertaruh, dan memilih jalur damai untuk menghindari konflik militer.
Perundingan ini berhasil dan mencapai kesepakatan dengan Inggris membuka pos perdagangan di Banten, membuka rute perdagangan Inggris ke Jawa.
Akhir Hayat dan Warisannya
Laksamana Keumalahayati wafat sekitar tahun 1615, namun ada versi lain yang menyebut di tahun 1606. Ia dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, Krueng Raya, Aceh Besar. Makamnya hingga kini masih diziarahi dan dijaga TNI Angkatan Laut sebagai bentuk penghormatan.
Pada tahun 2017, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Laksamana Keumalahayati. Namanya kini diabadikan di berbagai tempat: KRI Malahayati-362, kapal perang TNI AL, Universitas Malahayati di Lampung, jalan dan monumen di berbagai kota.
Keumalahayati bukan hanya bukti bahwa perempuan Aceh sejak ratusan tahun lalu sudah memimpin di medan perang, namun juga simbol bahwa kehilangan tidak harus membuat seseorang lemah.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif





