Bacaini.ID, CIREBON — Nama Waled berasal dari bahasa Sunda yang berarti leutak atau lumpur. Konon, ratusan tahun silam, wilayah ini adalah bagian dari Laut Jawa.
“Dulu, orang tua kami bilang, tanah ini dulunya laut. Bahkan saat menggali sumur, sering ditemukan cangkang laut,” kata Yono, mantan Kepala Desa Waled Asem kepada Bacaini.ID, Minggu, 9 November 2025.
Transformasi ini terjadi secara alami selama ratusan tahun. Sungai Cisanggarung, yang berhulu di pegunungan Kuningan, membawa serta lumpur dan sedimen setiap musim hujan. Lama-kelamaan, endapan lumpur itu menutup wilayah pesisir, menciptakan daratan baru yang subur. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Desa Waled Asem.
Pada masa kolonial, wilayah ini terbagi menjadi dua: Waled Pacinan dan Waled Girang. Waled Pacinan dikenal sebagai pusat perdagangan yang ramai, dihuni oleh komunitas Tionghoa yang berbaur dengan warga lokal. Mereka membuka toko, berdagang hasil bumi, dan membangun relasi sosial yang erat dengan masyarakat sekitar.
Sementara Waled Girang, yang terletak di dataran lebih tinggi, menjadi kawasan pertanian dan pemukiman utama.
Setelah kemerdekaan, nama itu berubah menjadi Waled Kota, menandai babak baru sebagai pusat pemerintahan kecamatan. Sedangkan Waled Girang berubah menjadi Waled Desa.
Waled Asem sendiri merupakan bagian dari kawasan yang lebih luas di Kecamatan Waled. Nama “Asem” merujuk pada pohon asam yang dulunya banyak tumbuh di wilayah ini, menjadi penanda alam sekaligus batas kampung.
Kini, desa ini dihuni oleh masyarakat agraris yang hidup dari pertanian, perdagangan kecil, dan sebagian mulai merambah sektor informal dan digital. “Mayoritas warga bekerja di pertanian, ada juga yang memelihara kambing,” kata Tono.
Namun, di balik geliat kehidupan modern, jejak sejarah masih terasa. Beberapa rumah tua dengan arsitektur campuran Tionghoa dan Indis masih berdiri.
Tradisi sedekah bumi dan ziarah ke makam leluhur tetap lestari. Bahkan, beberapa warga mulai menggagas ide untuk membuat “Museum Lumpur”, sebuah ruang edukasi yang merekam sejarah geologis dan sosial desa mereka.
Meski kaya akan sejarah, namun banyak generasi muda yang belum mengenal asal-usul kampungnya. Hal ini yang melatarbelakangi beberapa sekolah menginisiasi program “Sejarah Kampungku” agar anak-anak tahu bahwa tanah yang mereka injak dulunya adalah laut, dan bahwa identitas lokal adalah bagian dari warisan yang harus dijaga.
Dengan narasi sejarah yang kuat, Waled Asem berpeluang menjadi destinasi wisata edukatif. Waled Asem bukan sekadar desa. Ia adalah bukti bahwa alam dan manusia bisa beradaptasi, lumpur bisa menjadi rumah, dan sejarah bisa hidup di tengah kehidupan sehari-hari.
Penulis: Hari Tri Wasono





