Bacaini.ID, BLITAR – Istilah 7 setan desa muncul setelah para kader Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan live in bersama kaum tani di Jawa Barat pada tahun 1964.
Disebut dengan 7 setan desa karena masing-masing kluster sosial di desa ini dianggap sebagai penindas dan penghisap kaum tani.
Keberadaan 7 setan desa juga jadi penghalang utama dilaksanakannya Undang-undang landreform: tanah dibagikan untuk rakyat, utamanya kaum tani.
Live in atau turba di tempat kaum tani berlangsung selama 7 minggu. Melibatkan 40 kader PKI yang dipimpin langsung oleh DN Aidit.
“Mulai tanggal 2 Februari sampai 23 Maret 1964 saya telah memimpin serombongan petugas-petugas riset terdiri lebih daripada 40 orang,” kata Aidit seperti dikutip dari buku Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa Senin (22/9/2025).
Baca Juga: Ketika Kaum Tani di Indonesia Melawan Tuan Tanah dan Feodalisme
Selama turba di tempat kaum tani para kader partai diketahui diwajibkan menerapkan prinsip 3 sama: Sama bekerja, Sama makan dan Sama tidur.
Mereka juga wajib memegang teguh prinsip 4 jangan: jangan tidur di tempat penghisap di desa. Jangan menggurui kaum tani, jangan merugikan tuan rumah dan kaum tani dan jangan mencatat di hadapan kaum tani.
Juga memegang erat-erat prinsip 4 harus: harus melaksanakan 3 sama sepenuhnya, harus rendah hati, sopan santun dan suka belajar dari kaum tani.
Kemudian harus tahu bahasa dan mengenal adat istiadat setempat, dan harus membantu memecahkan kesulitan tuan rumah, kaum tani dan partai setempat.
Baca Juga: Cerita Singkong Mukibat Asal Kediri, Warisan Gerakan 1001 Barisan Tani
Lantas siapa saja yang disebut 7 setan desa itu? Yang pertama adalah tuan tanah jahat. Para tuan tanah yang menentang pelaksanaan undang-undang landreform.
Juga menentang gerakan tani revolusioner. Menyalahgunakan agama demi memperluas kepemilikan tanah serta memperhebat penghisapan terhadap kaum tani.
Setan desa yang kedua adalah lintah darat. Mereka adalah kaum berduit yang merentenkan cuannya dengan bunga kelewat tinggi.
Praktik riba ini merusak daya produksi kaum tani. Terjerumus dalam tumpukan hutang yang tidak habis-habis.
Setan desa ketiga adalah tukang ijon. Mereka adalah golongan yang sengaja mengambil untung dari kebutuhan kaum tani akan uang tunai.
Membeli hasil bumi dengan harga murah ketika tanaman masih hijau (belum matang). Dengan demikian menguasai hasil produksi kaum tani.
Setan desa yang keempat adalah tengkulak. Mereka membeli hasil produksi kaum tani pada waktu panen dan juga menjual barang dari kota kepada kaum tani.
Tengkulak jahat melakukan monopoli demi mengeruk untung sebesar-besarnya. Juga mempraktikkan sistem ijon dan panjar. Termasuk menawarkan kredit dengan harga tidak wajar.
Setan desa kelima adalah kapitalis birokrat (Kabir). Dengan uang negara mereka menekan kaum tani untuk menjual hasil produksi ke perusahaan miliknya di kota.
Para Kabir berkong kalikong dengan tuan tanah jahat, tengkulak jahat dan tukang ijon.
Setan desa yang keenam adalah bandit-bandit desa. Mereka adalah golongan yang melakukan kejahatan-kejahatan di desa untuk membela kepentingan kelas penghisap, utamanya tuan tanah dan kabir.
Yang termasuk golongan ini adalah para centeng tuan tanah, tukang pukul, preman, jawara jahat dan semacamnya.
Setan desa ketujuh adalah penguasa jahat. Mereka adalah penguasa desa yang membela kepentingan kaum penghisap dan kepentingannya sendiri.
Bahkan beberapa di antaranya juga menjadi tuan tanah jahat merangkap lintah darat, tukang ijon dan kapitalis birokrat. Golongan ini biasa disebut setan dasamuka.
Para kader partai dan Barisan Tani Indonesia (BTI) meyakini, dengan mengakhiri penghisapan dan penindasan setan desa kaum tani dapat mencapai pembebasan sejati.
Tanpa itu mustahil tercipta tatanan masyarakat adil dan makmur. Demikian sejarah pergerakan kaum tani di masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Penulis: Solichan Arif