Bacaini.ID, JAKARTA – Desakan untuk mereformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kembali mengemuka di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Tuntutan ini bukan sekadar gema kosong, melainkan akumulasi dari berbagai persoalan kronis yang telah lama menggerogoti institusi penegak hukum tersebut.
Pertemuan antara Presiden Prabowo dengan sejumlah tokoh bangsa yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB) pada 11 September 2025 menjadi momentum penting yang menandai keseriusan pemerintah dalam merespons aspirasi publik.
Presiden Prabowo menyetujui pembentukan tim atau komisi reformasi kepolisian, sebuah langkah yang disambut baik oleh banyak pihak sebagai “gayung bersambut” atas keresahan masyarakat.
Tulisan ini akan mengupas secara mendalam desakan reformasi kepolisian di Indonesia, mulai dari latar belakang tuntutan, masalah-masalah fundamental yang dihadapi Polri, hingga perbandingan dengan sistem kepolisian di negara-negara maju seperti Jepang, Inggris, Australia, Jerman, Belanda, dan Kanada.
Dengan menilik praktik-praktik terbaik (best practices) dari negara lain, diharapkan dapat dirumuskan sebuah kerangka reformasi yang komprehensif dan implementatif untuk mewujudkan Polri yang profesional, akuntabel, dan dipercaya oleh rakyat.
Desakan Reformasi dari Gerakan Nurani Bangsa
Pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dengan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) menjadi puncak dari akumulasi kekecewaan publik terhadap kinerja Polri. GNB, yang terdiri dari tokoh-tokoh lintas agama, budayawan, dan akademisi terkemuka seperti Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M. Quraish Shihab, Frans Magnis Suseno, dan Lukman Hakim Saifuddin, menyuarakan sejumlah tuntutan mendesak.
Tuntutan tersebut tidak hanya terbatas pada evaluasi dan reformasi institusi Polri, tetapi juga mencakup pembebasan mahasiswa dan pelajar yang ditahan pasca-demonstrasi pada akhir Agustus 2025, serta pembentukan tim investigasi independen untuk mengusut tuntas dugaan kekerasan aparat dalam aksi tersebut.
Desakan ini berakar pada serangkaian peristiwa yang menunjukkan potret buram penegakan hukum di Indonesia. Demonstrasi yang semula damai kerap berujung ricuh dengan dugaan penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force) oleh aparat.
Penangkapan sewenang-wenang, kriminalisasi aktivis, hingga dugaan penyiksaan di dalam tahanan menjadi catatan kelam yang terus berulang. Laporan dari berbagai lembaga hak asasi manusia, seperti SETARA Institute, KontraS, dan Amnesty International, secara konsisten menempatkan Polri sebagai institusi yang paling banyak diadukan terkait pelanggaran HAM.
Data-data ini menjadi bukti tak terbantahkan bahwa ada masalah fundamental dalam tubuh Polri yang memerlukan perbaikan segera dan menyeluruh.
baca selanjutnya ……