Bacaini.ID, BLITAR – Wawasan dan ketajaman fikir Tan Malaka membuat 2 orang intel Jepang terpesona tak berkesudahan.
Tomegoro Yoshizumi merupakan Kepala Intelijen Kaigun Bukanfu. Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang di Jakarta.
Sedangkan Shigetada Nishijima adalah tangan kanan Laksamana Muda Tadashi Maeda.
Malam itu keduanya bertamu di rumah Ahmad Subardjo, jalan Cikini Raya 82 Menteng, Jakarta Pusat. Malam akhir bulan Agustus 1945.
Tan Malaka juga datang sebagai tamu Subardjo. Tamu yang berpenampilan laiknya seorang petani dusun dan tidak dikenali.
Tamu yang begitu fasih bicara soal Marxisme. Cakap mengulas strategi gerakan massa, propaganda, peperangan dan isu politik internasional.
Fasih berbicara dalam bahasa Belanda. Tamu yang membuat Tomegoro Yoshizumi dan Shigetada Nishijima terpesona.
“Onkruid vergaat toch niet” (alang-alang tak dapat musnah kalau tak dicabut sampai ke akar akarnya), kata Tan Malaka seperti dikutip dari buku Jejak Intel Jepang, Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi.
Baca Juga: Tan Malaka dan Kontroversi ‘Agama adalah Candu’ dalam Konteks Indonesia
Sekitar 2 jam mereka bercakap-cakap dan 2 intel Jepang itu belum juga tahu siapa sosok laki-laki petani di depannya.
Sampai Ahmad Subardjo selaku tuan rumah memperkenalkan dan membuat kedua intel Jepang itu terkesima.
“Ini adalah Tan Malaka yang asli,” kata Ahmad Subardjo memperkenalkan sosok tamunya.
Nama yang sering didengar. Tokoh pergerakan yang paling diburu penguasa kolonial dan kerap dikabarkan tewas dalam pertempuran.
Malam itu mereka bertatap muka langsung. Yoshizumi langsung mengulurkan tangan. Dijabatnya tangan Tan Malaka dengan hangat. Demikian juga dengan Nishijima.
Tertulis dalam catatan Shigetada Nishijima, Shogen Indonesia Dokuritsu Kakumei, Nishijima sempat bergumam, “Betapa indahnya menjadi seorang revolusioner”.
Obrolan malam itu kian hangat. Tema pembicaraan meluas ke mana-mana.
Tentang kemerdekaan Indonesia. Tentang kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Yoshizumi dan Nishijima tidak mampu menyimpan rasa kagumnya pada Tan Malaka.
Baca Juga: Balada Cinta Bapak Republik Tan Malaka
Sebelum pamit, 2 pejabat penting intelijen Jepang itu meminta Tan Malaka membaiatnya menjadi seorang Indonesia.
Tan Malaka kemudian memberi nama Hakim pada Nishijima, yang berarti keadilan. Sedangkan Yoshizumi diberi nama Arif yang artinya bijaksana atau ilmiah.
Sejak itu Yoshizumi memakai nama Arif Tomegoro Yoshizumi.
Gugur di Blitar
Arif Tomegoro Yoshizumi merupakan komandan Pasukan Gerilya Istimewa.
Pasukan yang sebagian besar beranggotakan Kempeitai dan bekas tentara Jepang.
Mereka adalah orang-orang Jepang yang bersimpati pada republik dan melawan Sekutu dan Belanda yang hendak menjajah kembali Indonesia.
Tomegoro Yoshizumi lahir 1911 di Oizumimura Nishitagawa, Prefektur Yamagata, Jepang.
Yoshizumi pertama kali masuk Jawa sebagai mata mata militer Jepang pada tahun 1932. Ia sempat menyamar sebagai saudagar yang namanya cukup terkenal di Batavia.
Pada tahun 1935, sepulang dari Jepang, Yoshizumi untuk kedua kalinya kembali ke Jawa. Ia menyamar sebagai jurnalis koran Nichiran Shogyo Shinbun. Sebuah koran bisnis Jepang di Hindia Timur.
Pasca perjumpaan dengan Tan Malaka di rumah Ahmad Subardjo, Yoshizumi dan Nishijima kerap bertemu Tan secara sembunyi sembunyi di Cikini Raya, Jakarta.
Sejarawan Harry A. Poeze menyebut Kaigun Bukanfu Daisangka yang dipimpin Yoshizumi sangat bersimpati dengan kaum nasionalis kiri Indonesia.
“Berkali kali kantor Kaigun Bukanfu digunakan sebagai tempat berlindung orang orang Indonesia dari pengejaran Kempeitai,” kata Harry A. Poeze.
Bersama Tan Malaka, Yoshizumi dan Nishijima merancang aksi militer dan gerilya. Terutama di wilayah Banten, Bogor dan Jakarta.
Targetnya mengusir tentara Sekutu (NICA) dan Belanda yang hendak kembali menduduki Indonesia.
Dalam situasi politik yang tidak menentu itu (Setelah proklamasi kemerdekaan) Yoshizumi aktif membangun laskar gerilya.
Kelompok gerilyawan yang kemudian melebur pada organ Persatuan Perjuangan bentukan Tan Malaka.
Jejak pergerakan Yoshizumi muncul di Surabaya. Ia berhasil mempengaruhi Affandi, pimpinan PAL (Penataran Angkatan Laut).
Ribuan buruh galangan kapal Ujung, Surabaya dan para tekhnisi diorganisir dan diarahkan untuk mendirikan pabrik dan bengkel senjata.
Setelah proklamasi kemerdekaan, pabrik ini merupakan pabrik senjata pertama yang dimiliki Republik Indonesia.
Dalam catatan Shigeru Ono alias Rahmat, rekan Yoshizumi di Pasukan Gerilya Istimewa menyebut Arif (Tomegoro Yoshizumi) meninggal dunia pada 10 Agustus 1948.
Yoshizumi gugur saat bergerilya di Gunung Sengon, kawasan Wlingi Kabupaten Blitar.
Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Raden Wijaya Kota Blitar. “Dia dimakamkan di makam Angkatan Darat sekitar Blitar,” tulis Shigeru Ono.
Penulis: Solichan Arif