Bacaini.ID, KEDIRI – Viral di media sosial puluhan siswa-siswi SMKN 1 Kota Kediri mengerumuni dua pria yang mengaku sebagai wartawan di ruang kepala sekolah. Tampak para siswa membela kepala sekolah mereka dengan mengolok-olok kedua pria tersebut.
“Ini LSM apa preman,” teriak seorang siswa yang mengenakan seragam atasan warna biru dalam video tersebut. Sementara puluhan siswa lainnya terlihat ikut meneriaki dua pria yang duduk di kursi ruang kepala sekolah.
Masih dari video yang beredar, Kepala SMKN 1 Kota Kediri Edy Suroto terlihat emosi saat menghadapi dua pria tersebut. Beberapa kali ia menyampaikan kalimat dengan nada tinggi. Berikut di antaranya, “Kemarin minta lima juta kepada Pak (menyebut nama) untuk mencabut berita itu”.
Di video lain menayangkan dua pria itu sudah berdiri di depan para murid dan guru sambil memegang mikrophone. Ia mengatakan akan menurunkan berita yang ditulis paling lambat hari Sabtu tanggal 7 Juni 2025.
Sementara satu video lain yang masih menjadi rangkaian peristiwa itu menunjukkan kedua pria itu berboncengan meninggalkan halaman sekolah. Sementara ratusan siswa yang memenuhi halaman sekolah meneriaki mereka.
Penelusuran Bacaini.ID, dua pria tersebut mengaku kepada Kepala SMKN 1 Kota Kediri sebagai perwakilan dari salah satu media online yang menawarkan kerjasama pemberitaan. Penawaran itu disampaikan sebelum media yang bersangkutan menerbitkan pemberitaan tentang Edy Suroto, yang diklaim pihak sekolah sebagai berita menyesatkan dan tidak berimbang. Hal inilah yang membuat seluruh civitas SMKN 1 Kota Kediri marah.
Usai viralnya video itu di masyarakat, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur Wilayah Kediri Adi Prayitno memanggil Kepala SMKN 1 Kota Kediri untuk dimintai klarifikasi. Menurutnya, peristiwa itu hanya tindakan spontanitas dari siswa dan merupakan bentuk kesalahpahaman. “Itu terjadi karena para siswa menjaga nama baik sekolah agar tidak tercemar dengan pemberitaan tersebut,” terangnya, Kamis, 7 Juni 2025.
Kecaman masyarakat
Peristiwa yang menghebohkan jagat maya itu menuai reaksi besar dari masyarakat. Mayoritas warganet mendukung aksi para siswa dan kepala sekolah yang berani melawan oknum wartawan tersebut.
Ungkapan kemarahan masyarakat itu bertebaran di berbagai platform media sosial. Tak sedikit dari mereka yang menceritakan pengalaman pernah menjadi korban pemerasan oleh orang-orang yang mengaku sebagai wartawan. Dengan ancaman pemberitaan, mereka meminta imbalan uang yang tidak sedikit untuk tidak menaikkan berita atau bahkan mencabut berita yang sudah ditayangkan.
Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri, Afnan Subagio mengatakan praktik penyimpangan profesi wartawan menjadi persoalan serius semua pihak. Hal ini bukan hanya menjadi tanggungjawab organisasi profesi seperti AJI, PWI, atau IJTI, tetapi perusahaan media tempat ia bekerja. “Kadang kebijakan perusahaannya sendiri membuka praktik seperti itu dengan alasan membantu bisnis kantor,” kata Afnan.
Ia menambahkan, ekosistem perusahaan media yang buruk saat ini turut membuka peluang terjadinya praktik penyimpangan profesi wartawan di lapangan. Alih-alih mendapat kesejahteraan dari kantor, mereka justru dibebani untuk mencari uang dengan cara menjual berita. Hal ini biasanya terjadi pada perusahaan media yang belum terverifikasi Dewan Pers, sehingga beroperasi dengan standar wartawan yang rendah. Ujungnya, produk pemberitaan yang dihasilkan sering menuai persoalan.
Untuk mengeliminir praktik seperti itu, Afnan meminta kepada masyarakat agar tidak takut ketika berhadapan dengan wartawan. Sebab seluruh proses kerja wartawan diatur oleh kode etik dan kode perilaku, sehingga menjamin keamanan dan kenyamanan narasumber maupun pembaca.
“Jika perlu rekam semua aktivitas saat bertemu dengan wartawan, bisa dengan HP atau CCTV. Sehingga ketika terjadi praktik pengancaman atau tindakan lainnya yang merugikan, ada bukti yang bisa diajukan ke proses hukum,” terang Afnan. Ia memastikan hal itu masuk dalam ranah pidana dan tidak akan diakomodir oleh UU Pers.
Namun di satu sisi, Afnan juga mengingatkan semua pihak untuk tetap menghormati profesi wartawan yang bekerja dengan etika dan dilindungi UU Pers. Termasuk menempuh jalur aduan ke Dewan Pers jika merasa menjadi korban pemberitaan yang tidak benar. Sebab baik narasumber maupun wartawan sama-sama memiliki hak dalam proses peliputan berita. “Jangan pula melakukan tindakan kekerasan atau pengancaman kepada pekerja media,” pesan Afnan.
Penulis: A.K. Jatmiko, Hari Tri Wasono
Editor: Hari Tri Wasono