Bacaini.ID, JAKARTA – Survei Penilaian Integritas Pendidikan 2024 yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap 30% guru dan dosen menganggap pemberian hadiah dari murid sebagai praktik normal dan “rezeki”. Pemberian hadiah kerap dilakukan pada saat kenaikan kelas dan hari raya.
Survei yang dilakukan lembaga anti rasuah menyebut 65% orang tua siswa masih memberikan hadiah kepada guru, terutama saat musim kenaikan kelas dan hari raya. Lebih mengkhawatirkan, 22% institusi pendidikan melaporkan praktik ini dilakukan untuk memastikan siswa mendapat nilai lebih baik atau kelulusan. Temuan ini menjadi cermin ironis dunia pendidikan Indonesia yang masih terjebak dalam budaya gratifikasi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa pemberian hadiah dari orang tua murid kepada guru bukan sekadar “rezeki” melainkan bentuk gratifikasi yang berpotensi pidana korupsi. Namun, persepsi ini masih sulit dihilangkan dari mindset sebagian pendidik Indonesia.
Dampak negatif budaya hadiah kepada tenaga pendidik di antaranya adalah:
- Merusak objektivitas penilaian dan menciptakan ketidakadilan dalam evaluasi siswa
- Membentuk pola pikir transaksional dalam pendidikan sejak dini
- Mengikis integritas dan profesionalisme guru
- Menciptakan kesenjangan antara siswa dari keluarga mampu dan tidak mampu
- Menurunkan kualitas lulusan karena prestasi tidak lagi berbasis kompetensi
Implikasi jangka panjang yang akan muncul pada generasi muda mendatang adalah:
- Generasi muda terbiasa dengan praktik suap dan korupsi
- Hilangnya kepercayaan terhadap sistem pendidikan
- Terbentuknya mentalitas “serba instan” dalam mencapai tujuan
- Degradasi moral dan etika dalam masyarakat
- Hambatan dalam pembangunan SDM berkualitas
- Perpetuasi siklus korupsi dalam institusi pendidikan
Untuk mengatasi masalah ini, KPK mengadakan webinar rutin setiap tiga bulan untuk meningkatkan kesadaran antikorupsi di kalangan pendidik. Program ini bertujuan mengedukasi perbedaan antara “rezeki” yang sah dan gratifikasi ilegal, serta mendorong pelaporan setiap bentuk gratifikasi kepada komisi.
Alumni Fakultas Psikologi Universitas Al Azar Indonesia, Windya Marrisca mengatakan pemberian reward dapat dilakukan secara kolektif kalau memang ingin memberikan apresiasi atau membagi rezeki. Sehingga guru tidak dapat mengetahui orang tua murid mana yang memberikan paling besar, sehingga tidak mempengaruhi obyektivitas guru.
“Kumpulkan jadi satu sumbangan dan hadiah dari wali murid dikoordinir atau melalui sekolah atau kampus, sehinga sifatnya kolektif. Mengingat kondisi gaji guru atau dosen kita rata-rata masih di bawah standar, kita tidak menutup mata masalah ini tapi dapat dilakukan dengan cara baik dan benar tanpa mengakibatkan berkurangnya obyektivitas guru kepada muridnya”, ujar Windya.
Penulis : Danny Wibisono
Editor : Hari Tri Wasono