Bacaini.ID, JAKARTA – Survei Penilaian Integritas Pendidikan 2024 yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap 30% guru dan dosen menganggap pemberian hadiah dari murid sebagai praktik normal dan “rezeki”. Pemberian hadiah kerap dilakukan pada saat kenaikan kelas dan hari raya.
Survei yang dilakukan lembaga anti rasuah dalam rentang waktu 22 Agustus 2024-30 September 2024, menyebut 65% orang tua siswa masih memberikan hadiah kepada guru, terutama saat musim kenaikan kelas dan hari raya. Lebih mengkhawatirkan, 22% institusi pendidikan melaporkan praktik ini dilakukan untuk memastikan siswa mendapat nilai lebih baik atau kelulusan. Temuan ini menjadi cermin ironis dunia pendidikan Indonesia yang masih terjebak dalam budaya gratifikasi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa pemberian hadiah dari orang tua murid kepada guru bukan sekadar rezeki, melainkan bentuk gratifikasi yang berpotensi pidana korupsi. Namun, persepsi ini masih sulit dihilangkan dari mindset sebagian pendidik Indonesia. “Harus dibedakan mana rezeki, mana gratifikasi. Jadi, selalu kita gembar-gemborkan kepada mereka, disosialisasikan, dikampanyekan oleh kita dalam bentuk formal maupun non-formal,” ungkap Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana di Jakarta.
Dampak negatif budaya hadiah kepada tenaga pendidik di antaranya adalah:
- Merusak objektivitas penilaian dan menciptakan ketidakadilan dalam evaluasi siswa
- Membentuk pola pikir transaksional dalam pendidikan sejak dini
- Mengikis integritas dan profesionalisme guru
- Menciptakan kesenjangan antara siswa dari keluarga mampu dan tidak mampu
- Menurunkan kualitas lulusan karena prestasi tidak lagi berbasis kompetensi
Implikasi jangka panjang yang akan muncul pada generasi muda mendatang adalah:
- Generasi muda terbiasa dengan praktik suap dan korupsi
- Hilangnya kepercayaan terhadap sistem pendidikan
- Terbentuknya mentalitas “serba instan” dalam mencapai tujuan
- Degradasi moral dan etika dalam masyarakat
- Hambatan dalam pembangunan SDM berkualitas
- Perpetuasi siklus korupsi dalam institusi pendidikan
Untuk mengatasi masalah ini, KPK mengadakan webinar rutin setiap tiga bulan untuk meningkatkan kesadaran antikorupsi di kalangan pendidik. Program ini bertujuan mengedukasi perbedaan antara rezeki yang sah dan gratifikasi ilegal, serta mendorong pelaporan setiap bentuk gratifikasi kepada komisi.
Alumni Fakultas Psikologi Universitas Al Azar Indonesia, Windya Marrisca mengatakan pemberian reward dapat dilakukan secara kolektif kalau memang ingin memberikan apresiasi atau membagi rezeki. Sehingga guru tidak dapat mengetahui orang tua murid mana yang memberikan paling besar, sehingga tidak mempengaruhi obyektivitas guru.
“Kumpulkan jadi satu sumbangan dan hadiah dari wali murid dikoordinir atau melalui sekolah atau kampus, sehinga sifatnya kolektif. Mengingat kondisi gaji guru atau dosen kita rata-rata masih di bawah standar, kita tidak menutup mata masalah ini tapi dapat dilakukan dengan cara baik dan benar tanpa mengakibatkan berkurangnya obyektivitas guru kepada muridnya”, ujar Windya.
Ketua Komite SMP Negeri 4 Kota Kediri Afnan Subagio tidak menampik adanya pemberian dari orang tua kepada guru. Menurutnya, hal itu biasanya terjadi di lingkungan sekolah dengan latar belakang orang tua yang memiliki kemampuan ekonomi. Namun ia meminta kepada orang tua untuk berhati-hati dalam memberikan “kenang-kenangan” sebagai ungkapan terima kasih dan wujud syukur atas pendidikan anaknya.
“Karena ini itikad baik dari orang tua, silahkan saja. Asal jangan sampai menjadi kewajiban atau memaksa orang tua siswa yang tidak memiliki kemampuan atau keikhlasan. Pemberiannya juga harus atas nama seluruh orang tua siswa, bukan pribadi,” kata Afnan.
Afnan juga mengingatkan jika hal itu sebenarnya tidak perlu dilakukan, mengingat kewajiban guru adalah memberikan pendidikan yang maksimal.
Penulis : Danny Wibisono
Editor : Hari Tri Wasono