Bacaini.ID, KEDIRI – 11 Maret 1966. Presiden Soekarno belum lama berpidato di sidang kabinet 100 Menteri ketika Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa, tiba-tiba mendekat.
Resimen Cakrabirawa merupakan pasukan khusus pengawal presiden dengan anggota dari semua unsur matra Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI).
Sabur berbisik, di luar Istana Negara ada pasukan tanpa tanda pengenal dan mereka berseragam. Selain itu demonstrasi mahasiswa juga tidak berhenti.
Mahasiswa berusaha memboikot sidang kabinet dengan cara mengempesi ban-ban mobil yang menuju Istana. Massa menuntut Bung Karno segera membubarkan PKI.
Aksi massa yang digelar itu merupakan lanjutan aksi yang berlangsung 24 Februari 1966 saat Bung Karno melantik Kabinet 100 Menteri.
Pangdam V/Jaya Brigjen Amir Machmud yang berada di lokasi sidang kabinet, telah menyatakan situasi akan tetap aman.
Namun Presiden Soekarno kemudian memutuskan menghentikan pidato dan langsung meninggalkan ruang sidang.
Diiringi Waperdam I Dr Subandrio dan Waperdam III Dr Chaerul Saleh, Bung Karno terbang dengan helikopter menuju Istana Bogor.
Sidang paripurna kabinet ditutup oleh Waperdam II Dr J Leimena yang langsung bergegas menyusul ke Bogor dengan kendaraan roda empat.
Sidang kabinet diketahui dihadiri 3 orang perwira tinggi TNI AD, yakni Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M Jusuf dan Brigjen Amir Machmud.
Dihimpun dari berbagai sumber sejarah, ketiganya bersepakat menyusul Presiden Soekarno ke Istana Bogor.
Namun sebelum berangkat lebih dulu meminta izin Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto yang juga merangkap panglima Kopkamtib.
Soeharto diketahui tidak hadir di acara sidang kabinet lantaran sakit dan harus beristirahat di rumah. Saat ditemui Soeharto langsung mengizinkan.
Sebelum berangkat, Mayjen Basuki Rachmat sempat bertanya kepada Soeharto, adakah pesan khusus untuk Presiden Soekarno.
Jawab Soeharto: “Sampaikan saja bahwa saya tetap pada kesanggupan saya. Beliau akan mengerti”.
Kesanggupan yang dimaksud ternyata adalah kesanggupan membubarkan PKI.
Latar belakang munculnya kesanggupan itu adalah pertemuan Presiden Soekarno dan Soeharto di Istana Bogor 2 Oktober 1965 pasca peristiwa G30SPKI.
Dalam pertemuan itu keduanya diketahui berbeda pendapat. Soeharto berpandangan situasi politik nasional akan terus bergolak selama PKI tidak dibubarkan.
Sementara Bung Karno berpendapat tidak mungkin membubarkan PKI karena bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah dikampanyekan ke seluruh dunia.
Soeharto kemudian secara tegas menyediakan diri, sanggup membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari Presiden.
Pada 11 Maret 1966, pesan kesanggupan itu oleh ketiga perwira tinggi AD disampaikan kepada Bung Karno yang saat itu didampingi Subandrio, J. Leimena dan Chaerul Saleh.
Bersama komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur, ketiga perwira tinggi AD diminta membuat konsep surat perintah kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah.
Presiden Soekarno menandatangani surat mandat tertanggal 11 Maret 1966 yang kemudian lebih dikenal dengan nama Supersemar.
Dengan Supersemar di tangan, Letjen Soeharto pada 12 Maret 1966 langsung membubarkan PKI.
Pada 18 Maret 1966 memerintahkan penangkapan 15 orang menteri yang dianggap terlibat dalam G30SPKI.
Untuk memperkuat posisinya, Soeharto mengangkat 5 menteri koordinator ad interim menjadi Presidium kabinet. Mereka adalah Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Roeslan Abdulgani, KH Idham Chalid dan Dr. J Leimena.
Pada 12 Maret 1967, kekuasaan Presiden Soekarno secara de jure dan de facto betul-betul berakhir.
Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution melantik Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
Terbitnya Supersemar menjadi tonggak kelahiran Orde Baru sekaligus berakhirnya kekuasaan Orde Lama beserta barisan Soekarnoisnya.
Penulis: Solichan Arif