Bacaini.ID, KEDIRI – Perayaan tahun baru Imlek 2025 sudah di depan mata.
Di tempat peribadatan Klenteng Tjoe Hwie Kiong Kediri Jawa Timur, ritual memandikan rupang atau patung dewa-dewa, sudah mulai digelar.
Umat bersiap-siap menunaikan sembahyang Sam Seng, atau ritual untuk arwah leluhur dengan tiga macam kurban yang itu digelar setiap Imlek.
Yang tidak banyak diketahui masyarakat Tionghoa di Indonesia, tahun baru Imlek atau Sin Cia pernah tidak digelar, yang itu bukan lantaran adanya pelarangan.
Tapi lebih karena situasi sosial politik yang kurang mendukung. Peristiwa itu berlangsung pada masa awal kemerdekaan Indonesia 1945.
Perayaan Imlek ditiadakan karena menganggap pada waktu itu masih banyak masyarakat yang menderita, imbas dari penjajahan Jepang.
Pada sisi lain, situasi sosial politik di awal kemerdekaan juga belum kondusif dan karenanya tidak pas sekaligus kurang pantas menggelar Imlek.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) diketahui banyak orang-orang Tionghoa yang ditangkap, dipenjarakan, dan kemudian tidak jelas nasibnya.
“Situasi negara ketika itu belum tentram dan di Jakarta masih terjadi zaman “siap-siapan,” demikian dikutip dari buku Hari-Hari Raya Tionghoa.
“Siap-siapan” atau “masa Bersiap” merupakan istilah yang merujuk pada peristiwa serangan mendadak dari kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Setiap serangan datang dari tentara kolonial, orang-orang Indonesia selalu berteriak Siap!Siap!.
Situasi awal kemerdekaan yang belum sepenuhnya kondusif itu membuat banyak orang Tionghoa tidak berani berziarah ke makam leluhur.
Situasi carut marut itu berlanjut hingga awal tahun 1947. Terjadinya insiden-insiden pada medio tahun 1946, membuat Imlek kembali tidak dirayakan.
Orang-orang Tionghoa menghormati saudara-saudara mereka yang sedang tertimpa kesusahan, tidak elok kalau memaksakan bergembira merayakan Imlek.
Pada tahun 1948 itu, di Tiongkok juga sedang dilanda kecamuk perang saudara. Cita-cita “Satu Tiongkok” makmur berantakan.
Situasi tidak menentu berlanjut pada 1949, di mana Belanda melancarkan agresi. Kembali banyak orang-orang Tionghoa di Indonesia yang jadi korban.
Beribu-ribu orang berada dalam situasi mencekam sekaligus kekurangan sandang pangan. “Tahun baru (Imlek) masih dianggap tidak pantas untuk dirayakan”.
Pasca tahun 1949, seiring situasi yang berangsur-angsur membaik, Imlek mulai dirayakan, meskipun dilakukan tidak besar-besaran.
Penulis: Solichan Arif