Bacaini.ID, KEDIRI – Petani tebu di Indonesia tengah bahagia. Tingginya rendemen karena naiknya kualitas tanaman tebu di musim kemarau membuat harga jual komoditas ini meroket.
Di beberapa daerah kenaikan harga tebu di tingkat pabrik mendorong kenaikan harga gula di pasaran. Sejak dua hari terakhir harga gula menyentuh angka Rp.17.000 per kilogram. Meski harganya meroket tajam, namun kebutuhan gula di rumah tangga dan industri makanan tak bisa ditawar.
Dalam proses metabolisme manusia, gula adalah karbohidrat yang menyediakan energi untuk beraktivitas sehari-hari. Guna menjadi energi, karbohidrat akan dipecah menjadi glukosa yang dialirkan ke setiap sel di seluruh tubuh melalui aliran darah.
Air tebu merupakan salah satu sumber gula dan karbohidrat terbaik. Kandungan gula alami sukrosa dan fruktosa dalam air tebu dapat menghasilkan energi bagi tubuh, dan mencegah dehidrasi.
Sejarah Perkebunan Tebu
Tebu (Saccharum Officinarum) tergolong dalam kerabat Poaceae. Tanaman ini mempunyai batang yang kokoh, batang beruas dan berserat atau berserabut, dan kulitnya keras.
Tanaman tebu menjadi saksi pertumbuhan ekonomi dunia pada masa kolonialisme dan berperan penting dalam pasar dunia. Dalam sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia dikenal dengan sebutan Onderneming.
Dikutip dari National Geographic Indonesia, tidak ditemukan catatan khusus dalam sejarah kolonialisme, tentang kapan dan di mana manusia pertama kali mulai menanam tebu sebagai komoditas tanaman dagang. Tetapi kemungkinan besar itu terjadi sekitar 10.000 tahun yang lalu.
Seiring meningkatnya permintaan gula di pasaran, pemerintah Kolonial Belanda mengeksploitasi tenaga rakyat Jawa menjadi buruh dalam sistem kerja paksa. Sistem ini menuai kejayaan hingga pada pertengahan abad ke-19 produksi gula di Jawa menyumbang sepertiga dari pendapatan pemerintah Belanda dan 4% dari PDB Belanda.
Praktik ini berhenti pada pada tahun 1870, ketika sebuah Undang-Undang Agraria disahkan di Belanda, yang menghapus kerja paksa dan mengizinkan perusahaan swasta untuk menyewa tanah di daerah yang jarang penduduknya.
Buruh Tebang Tebu

Profesi penebang tebu sejatinya merupakan peninggalan Kolonial Belanda saat mengkampanyekan industri tebu di Pulau Jawa. Ia bekerja menebang atau memanen tebu dengan status buruh yang memanen di lahan orang lain.
Pekerjaan tebang tebu tidak mudah dilakukan oleh banyak orang. Selain membutuhkan tenaga yang kuat, penebang tebu harus mampu beradaptasi dengan terik matahari, duri tebu (glugut), maupunhewan berbahaya seperti kalajengking, kelabang, dan ular.
Resiko kecelakaan kerja juga mengincar para penebang tebu, seperti jatuh saat memasukkan batang tebu ke dalam truk, ataupun terpeleset saat menaiki tangga.
Pekerjaan memanen tebu dilakukan dari pagi hingga petang. Tidak ada hari libur karena pemilik lahan harus mengejar target produksi. Dalam satu musim giling (berkisar 120-140 hari), para pekerja bisa memperoleh upah sekitar Rp.2.500.000 per bulan yang dibayarkan mingguan.
Meski terhitung lumayan, pekerjaan penebang tebu tak bisa dilakukan setiap saat. Pekerjaan ini bergilir dengan buruh tanam ketika proses penanaman tebu dimulai. Ketika masa tanam tiba, buruh tebang tebu praktis kehilangan upahnya.
Karena membutuhkan kekuatan fisik yang luar biasa, banyak buruh tebang tebu yang harus pensiun seiring pertambahan usia. Rata-rata usia produktif seorang tebang tebu antara 30 hingga 60 tahun.
Di Indonesia, utamanya Pulau Jawa, profesi tebang tebu akan terus dibutuhkan. Selama komoditas tebu masih ditanam, serta pabrik gula terus beroperasi, pemilik lahan akan membutuhkan buruh tebang tebu.
Penulis: Eka Lutfiana
Editor: Hari Tri Wasono