Pencemaran udara masih menjadi penyumbang besar gangguan kesehatan paru. Salah satu gangguan yang cukup sering dijumpai adalah penyakit paru obstruktif kronik.
Penyakit paru obstruktif menjadi penyebab kematian tertinggi ketiga di dunia. Berdasarkan data WHO, jumlah kematian akibat penyakit ini di tahun 2019 sebanyak 3,23 juta jiwa.
Penyakit Paru Obstrukstif Kronik (PPOK) merupakan penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Meski mematikan, penyakit ini dapat dicegah dan diobati.
Dokter Spesialis Paru RSUD dr. Iskak, dr. Titah Dhadhari Suryananda, Sp.P mengatakan, penyakit PPOK ditandai adanya hambatan aliran udara yang bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas berbahaya.
Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta orang dengan prevalensi 5,6 persen. Identifikasi faktor resiko merupakan langkah penting dalam pencegahan dan penatalaksanaan PPOK. Kebiasaan merokok menjadi penyebab kausal terpenting dibandingkan penyebab lain.
“Asap rokok mempunyai prevalensi tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Resiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok,” ujar dr. Titah.
Meskipun tidak semua perokok berkembang menjadi PPOK, namun secara klinis faktor genetik mempengaruhi setiap individu. Kayu, serbuk gergaji, batu bara dan minyak tanah merupakan bahan bakar kompor yang menjadi penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan.
Selain rokok, asap kompor dengan ventilasi yang kurang baik merupakan faktor risiko penting timbulnya PPOK. Polusi udara lain yang bisa memicu adalah ozon, nitrogen oksida, sulfur, dan gas rumah kaca yang berkontribusi sekitar 5 persen. Infeksi virus dan bakteri juga berperan mencetuskan terjadinya kekambuhan PPOK.
Hal-hal tersebut menyebabkan kerusakan jaringan paru sehingga menyebabkan emfisematus (luluh paru) dan mengganggu mekanisme pertahanan yang mengakibatkan perubahan fungsi paru. Inilah yang mengakibatkan udara terperangkap dan keterbatasan aliran udara cenderung bertambah berat.
Setelah menemukan faktor risiko dan gejala melalui anamnesa (wawancara singkat dengan panderita) maka pemeriksaan fisik perlu dilakukan. Pemeriksaan foto rontgen, laboratorium dan spirometri (tes fungsi paru) bertujuan untuk menegakkan sebuah diagnosa PPOK.
Penatalaksanaan PPOK meliputi terapi farmakologis dan non-Farmakologis. Kunci utama terapi farmakologis diberikan melalui terapi inhalasi (obat langsung diberikan ke saluran napas), karena itu diperlukan edukasi dan pelatihan cara menggunakan terapi inhalasi tersebut.
Pemilihan alat inhaler harus disesuaikan dengan kebutuhan setiap penderita seperti akses, biaya. Dan yang terpenting adalah kemampuan penderita menggunakan alat inhalernya. Jenis-jenis inhaler yang tersedia saat ini di Indonesia diantaranya:
• Dry powder inhaler (DPI), hanya dapat diberikan jika penderita mampu melakukan inhalasi kuat dan dalam
• Metered dose inhaler (MDI), memerlukan kemapuan penderita untuk melakukan koordinasi secara akurat. Penderita harus melakukan inhalasi dan aktuasi secara bersamaan
• Bagi penderita yang tidak dapat melakukan Teknik inhaler DPI dan MDI, maka soft mist inhaler (SMI) dapat dipertimbangkan karena jauh lebih mudah dibandingkan keduanya.
Penatalaksanaan non-farmakologis meliputi program berhenti merokok, latihan fisik, edukasi mengenai kepatuhan pengobatan, teknik penggunaan inhaler secara benar dan pengenalan gejala eksaserbasi (kejadian kekambuhan).
Selain itu vaksinasi serta rehabilitasi paru juga dibutuhkan dalam tatalaksana non-farmakologis. Melalui penatalaksanaan non-farmakologis, tenaga kesehatan diharapkan mampu membangkitkan upaya mandiri penderita PPOK untuk mengatasi penyakitnya.
Penulis: Hari Tri W