Bacaini.id, TULUNGAGUNG – Bencana alam yang terjadi di Tulungagung dalam beberapa pekan terakhir ini, ternyata akibat banyaknya kawasan hutan yang dialih fungsikan sebagai lahan pertanian. Hal itu membuat, daerah resapan air di wilayah selatan Tulungagung hilang hingga muncullah banjir, tanah gerak dan longsor.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Tulungagung, Santoso mengatakan, terjadinya bencana banjir dan tanah longsor di kawasan selatan seperti Campurdarat dan Besuki adalah dampak dari alih fungsi lahan. Sebagian besar wilayah pegunungan selatan menjadi gundul karena dialih fungsikan untuk menanam jagung.
“Memang kenyataannya seperti itu, di wilayah selatan banyak lahan kehutanan yang difungsikan sebagai lahan pertanian. Hal itu justru memicu terjadinya banjir disertai lumpur dan tanah longsor,” kata Santoso dihubungi Bacaini.id, Jumat, 14 Oktober 2022.
Santoso mengaku sudah sering melakukan reboisasi di kawan hutan gundul. Sebanyak ratusan ribu bibit tanaman buah-buahan dialokasikan untuk wilayah selatan. Pada mulanya, bibit tanaman tersebut memang benar-benar ditanam. Hanya saja, saat tanaman sudah tumbuh masyarakat justru mematikan pohon tersebut secara perlahan dan jika sudah mati malah dibakar, untuk dijadikan lahan jagung.
“Dengan begitu masyarakat memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan pertanian jagung. Mereka berfikir jika tanaman pelindung itu mengganggu tanaman jagung mereka,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Blitar Agus Suryawan mengatakan, setiap tahun pihaknya melakukan reboisasi lebih dari 500 hektare. Tetapi reboisasi tidak bisa maksimal karena banyak masyarakat mulai beralih menanam jagung, bukan tanaman buah yang dapat menyerap banyak air.
“Banyak yang mengira hutan di Campurdarat gundul karena tanaman yang masih kecil rata-rata dicuri atau dirusak oleh oknum. Apalagi, tanaman polo pendem juga sudah tidak ada. Maka dari itu, kami terus melakukan reboisasi hingga sekarang,” kata Agus.
Agus menjelaskan bahwa selama ini pihaknya tidak bisa membawa pelaku perusak hutan ke jalur hukum, karena tanaman yang dirusak masih berusia muda, kerugian yang ditimbulkan pun hanya mencapai Rp2.500.000. Namun menurutnya, kondisi hutan di dekat Telaga Mburet masih dalam kondisi baik dan tidak ada penebangan. Bahkan, warga setempat ikut menjaga tanaman yang ada di hutan.
“Saya tidak memungkiri bahwa saat terjadi banjir warga menyalahkan lahan hutan yang berkurang. Namun, kami berharap agar warga mengubah pola tanam dengan menanam buah-buahan yang bisa membantu mencegah banjir,” terangnya.
Lebih lanjut, Agus menyampaikan jika reboisasi yang dilakukan setiap tahun akan percuma dengan adanya oknum yang merusak tanaman jati di hutan. Padahal, oknum itu telah diberikan izin untuk menanam palawija di lahan Perhutani.
“Banjir yang terjadi di Kecamatan Campurdarat berasal dari hutan yang ada di bagian atas. Pohon-pohonnya kurang rapat sehingga aliran air pada akhirnya bisa sampai ke bawah, ke permukiman warga,” tandasnya.
Penulis: Setiawan
Editor: Novira