Bacaini.id, KEDIRI – Kegaduhan terjadi di Kelurahan Sukorame, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Langit masih gelap saat orang-orang berjalan ke utara, melintas di depan rumahku.
“Enek petrus,“ kata mereka berulang-ulang. Makin lama jumlah orang yang berseliweran makin banyak. Tak sadar kakiku ikut melangkah keluar rumah mengikuti mereka.
Tiba di perempatan Sukorame, rombongan itu berbelok ke barat menuju arah Goa Selomangleng. Aku tetap membuntuti mereka dengan mengenakan sandal jepit. Berjalan dengan orang-orang yang sebagian kukenal.
Dari jauh terlihat kerumunan orang di pinggir jalan. Rupanya itu adalah tujuan para pejalan kaki yang kuikuti. Sayangnya, tubuhku yang kecil tak mampu menyeruak kerumunan untuk melihat apa yang terjadi. Kala itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar pada tahun 1980an.
Setelah cukup lama menunggu, satu per satu dari kerumunan itu pergi. Berbalik ke rumah masing-masing sambil bergumam “petrus”. Aku makin penasaran.
Sampai giliranku merangsek ke depan, terlihatlah pemandangan aneh. Sebuah gundukan terbungkus tikar pandan warna coklat tergeletak di aspal. Aku masih belum mengetahui isi di balik tikar itu sampai akhirnya melihat dua telapak kaki manusia menyembul di ujung gulungan.
Ujung kaki itu terlihat hingga di atas mata kaki. Warna telapaknya sangat pucat. Dua kaki itu berposisi sangat rapat karena terikat tali tambang. Cukup lama aku memandang kaki itu hingga masih mengingatnya sampai sekarang.
Ukuran gulungan tikar itu cukup besar dan panjang, menggambarkan perawakan si mayat saat masih hidup. Sebuah noda air berwarna merah kehitaman merembes dari sela rajutan tikar. Orang-orang menyebutnya sebagai darah.
Aku baru beranjak dari tempat itu setelah kakak perempuanku menyusul, “Ndang muleh, selak sekolah”.
Sampai di rumah semua orang masih membicarakan kejadian itu. Ibuku bilang petrus adalah penembak misterius yang membunuh para penjahat. Biasanya mayat mereka dibuang di sembarang tempat dengan cara ditukar. Misalnya penjahat asal Nganjuk dibuang di Kediri. Demikian pula sebaliknya.
Sementara kakak sepupuku menyebut mayat itu dijatuhkan dari atas truk begitu saja. Tidak ada yang mengenali siapa pengemudinya. Kendaraan itu pergi dengan meninggalkan mayat di pinggir jalan. Wargalah yang berinisiatif menutupinya dengan tikar pandan.
Perbincangan soal petrus berlanjut hingga ke dalam sekolah. Semua siswa masih membicarakan mayat laki-laki yang diduga tewas dengan luka tembak di dada. Menurut pak guru, mayat itu sudah dikubur di pemakaman Dempul dekat Pondok Pesantren Lirboyo. Tempat itu dikenal sebagai lokasi pemakaman mayat tak dikenal alias Mr X.
Operasi Militer
Presiden Soeharto dalam otobiografinya berjudul Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya menyebut jika petrus adalah upaya pemerintah untuk membasmi pelaku kejahatan di Indonesia. Mereka yang dibunuh adalah para penjahat yang meresahkan masyarakat.
Masalah yang sebenarnya adalah bahwa kejadian itu didahului oleh ketakutan yang dirasakan oleh rakyat. Ancaman-ancaman yang datang dari orang-orang jahat, perampok, pembunuh, dan sebagainya terjadi. Ketentraman terganggu. Seolah-olah ketentraman di negeri ini sudah tidak ada. Yang ada seolah-olah hanya rasa takut saja.
Orang-orang jahat itu sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Umpamanya saja, orang tua sudah dirampas pelbagai miliknya, kemudian masih dibunuh. Itu kan sudah di luar kemanusiaan. Kalau mengambil, ya mengambillah, tetapi jangan lantas membunuh.
Kemudian ada perempuan yang diambil kekayaannya dan si istri orang lain itu masih juga diperkosa oleh orang jahat itu, di depan suaminya lagi. Itu sudah keterlaluan! Apa hal itu mau didiamkan saja? Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan.
Buku yang ditulis oleh G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. itu juga menyebut mayat pelaku kejahatan tersebut ditinggalkan begitu saja untuk shock therapy atau terapi goncangan. Agar masyarakat memahami jika masih ada tindakan tegas bagi pelaku kejahatan di negeri ini. Soeharto meyakini tindakan ini akan bisa meredam aksi-aksi kejahatan di masyarakat.
Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM menyebut jumlah korban petrus sepanjang tahun 1982 – 1985 itu mencapai lebih dari 10.000 orang. Sedangkan pengaduan yang diterima Komnas HAM sebanyak 2.000 orang lebih.
Penulis: Hari Tri Wasono
Tonton video: