Bacaini.id, TULUNGAGUNG – Puluhan masyarakat dari berbagai daerah menunjukan keperkasaanya, dalam pagelaran seni tiban. Tradisi tiban ini merupakan budaya asli Tulungagung, selain untuk mendatangkan hujan, tradisi ini juga mempererat kerukunan masyarakat.
Pagelaran tradisi tiban, digelar di Lapangan Desa Pucung Lor, Kecamatan Ngantru, Tulungagung, Minggu, 19 Juni 2022. Peserta yang hendak mengikuti tiban harus mengantri terlebih dahulu di bawah panggung setinggi kurang lebih dua meter.
Setelah itu, peserta akan disuruh naik ke atas panggung, untuk menentukan lawan yang sepadan. Peserta tiban terdiri dari pemuda hingga laki-laki dewasa yang memiliki kondisi fisik baik serta bernyali tinggi.
Ada dua sesi disetiap babak dalam pertunjukan tiban. Setiap peserta diberikan kesempatan mencambuk lawannya dengan pecut njalin sebanyak tiga kali secara bergantian. Peserta yang mendapatkan giliran dicambuk, akan diberikan helm modifikasi untuk keselamatan.
Sebelum mencambuk menggunakan pecut njalin, peserta diharuskan untuk menari terlebih dahulu. Kemudian, setelah selesai, setiap peserta harus berjabat tangan tanpa ada rasa dendam antar satu sama lain di luar panggung tiban.
Ketua Panitia pagelaran tiban, Binti Luklukah mengatakan bahwa tiban merupakan salah satu budaya asli dari Tulungagung yang diharapkan bisa terus terjaga dan dilestarikan oleh para generasi muda. Pagelaran tiban ini juga menjadi serentetan kegiatan peringatan hari Pancasila yang jatuh pada 1 Juni.
“Tradisi tiban kami kenalkan kepada generasi muda, agar bisa terus terjaga. Apalagi, melalui tradisi tiban ini nilai-nilai Pancasila bisa diterapkan oleh masyarakat, khususnya para peserta yang ikut serta,” kata Binti kepada Bacaini.id, Minggu, 19 Juni 2022.
Binti menjelaskan, dalam kepercayaan masyarakat Tulungagung, tradisi tiban ini bertujuan untuk mendatangkan hujan. Menurutnya, ketika musim kemarau, banyak sumber mata air yang hilang. Oleh karena itu, dilakukanlah tradisi tiban.
“Tiban ini juga untuk memastikan kebutuhan air masyarakat tercukupi. Sudah menjadi kepercayaan, ketika kekeringan terjadi maka dilakukanlah tradisi tiban dengan harapan bisa turun hujan,” jelasnya.
Peserta yang turut serta memeriahkan pagelaran tiban ini, lanjutnya, berasal dari berbagai daerah. Selain dari Tulungagung, peserta juga datang dari Blitar, Ponorogo dan Trenggalek. Bahkan, pelaku budaya tradisi tiban dari Desa Wajak juga turut hadir dalam pagelaran ini.
“Awal mula tradisi tiban di Tulungagung memang berasal dari Desa Wajak, Kecamatan Boyolangu,” imbuhnya.
Sementara itu, salah satu peserta, Tamat menambahkan, dalam pagelaran tiban kali ini dia sudah naik panggung sebanyak dua kali. Menurutnya, tradisi tiban ini sudah menjadi hobi yang sudah dilakoninya sejak SD.
“Di mana ada pagelaran tiban, pasti sebisa mungkin saya akan ikut. Ini sudah hobi saya sejak masih kecil,” kata Tamat.
Pria berusia 57 tahun itu mengungkapkan, setelah mengikuti tradisi tiban sudah tentu beberapa bagian tubuh mengalami luka robek akibat cambukan. Namun, luka tersebut tidak sebanding dengan rasa senang ketika naik panggung tiban.
“Ya pasti luka, ini luka saya ada di tangan, panggung dan perut. Luka ini bakal sembuh dengan sendirinya kok,” ungkapnya sambil menunjukkan luka yang dialaminya.
Menurut Tamat peserta tradisi tiban tidak boleh sembarangan. Peserta harus memiliki bekal pengetahuan tentang teknik-teknik tiban. Jika tidak, mereka hanya akan mendapatkan rasa sakit akibat cambukan. Selain itu peserta tiban juga harus memiliki nyali yang tinggi.
“Kalau ada peserta tiban yang marah ketika dicambuk, maka bisa dipastikan dia masih awam. Karena tiban ini sebenarnya adalah kesenian,” pungkasnya.
Penulis: Setiawan
Editor: Novira