“Setiap orang menjadi guru, dan setiap rumah menjadi sekolah” – Ki Hadjar Dewantara
Meski sering diucapkan banyak orang, namun kutipan yang populer di Hari Pendidikan Nasional itu belum pernah didengar oleh Dana, anak Punk yang tak pernah menuntaskan pendidikan dasar. Bahkan kalaupun sempat dikenalkan sosok Ki Hadjar Dewantara oleh gurunya kala itu, dia tak bisa mengingatnya.
“Saya tidak mau sekolah lagi saat teman-teman melanjutkan ke SMP,” kata Dana kepada Bacaini.id, Minggu, 2 Mei 2021.
Bukan tanpa alasan Dana yang kini berusia 22 tahun itu menolak sekolah. Dia kecewa lantaran sikap kedua orang tuanya yang memilih bercerai. Dana sangat tidak mengharapkan ibu dan bapaknya berpisah. Apalagi masih ada adik kecilnya dan butuh kasih sayang orang tua. Dana frustasi dan memutuskan pergi dari rumahnya di Kota Malang.
Tentu saja kehidupan jalanan Kota Malang terlalu keras bagi seorang Dana yang baru saja lulus sekolah dasar. Namun rumah yang sebelumnya menjadi sandaran hidupnya tak lagi memberi kehangatan. Dana butuh tempat tinggal baru.
Dalam sekejap jalanan Kota Malang telah menyulap Dana kecil yang rapuh dan frustasi menjadi pengamen. Hidupnya sangat keras, bahkan hanya untuk mencari sesuap nasi.
“Tidak mudah hidup di jalan, banyak orang jahat dari pada orang baik. Akhirnya waktu ngamen di perempatan ketemu mas-mas punk, ngamen bareng, terus saya diajak ke Kediri,” cerita Dana.
Di Kediri Dana memulai kehidupan baru bersama komunitas punk. Kerasnya kehidupan di jalan tidak semenakutkan ketika dia sendirian. Dana merasa mendapat keluarga baru, meski sesekali memberinya pengaruh buruk seperti mabuk-mabukan.
“Mabuk, dikejar Satpol PP, sampai dipukuli orang tanpa sebab sudah biasa. Bahkan itu terjadi di kota-kota lain yang saya kunjungi, termasuk Jakarta yang ternyata sangat keras. Bukan hanya petugas, dengan teman sesama komunitas dan preman bisa (bentrok) setiap hari,” kenangnya.
Selain mengamen, Dana biasa menghabiskan waktunya bermain game di warnet. Keahliannya bermain game online membuatnya memiliki banyak kenalan yang memiliki hobi serupa. Dari situ kehidupannya mulai berubah.
Dana bergabung dengan komunitas gamers. Tidak jarang Dana ikut kompetisi game, hingga dimintai tolong menjadi joki game saat event. Dia disewa dengan bayaran yang cukup tinggi.
“Karena eventnya banyak digelar di café, saya kenal beberapa pemilik kafe, terus diajak kerja. Awalnya bantu-bantu, diajari masak, sampai sekarang bisa masak juga,” katanya bangga.
Uang yang dikumpulkannya dari bekerja mulai tampak. Dia berani menyewa kamar kos di Kelurahan Ngronggo, Kecamatan Kota, Kota Kediri sebagai tempat tinggal. Dengan tinggal di rumah, dia berharap kehidupannya lebih teratur.
Dari pengalaman tersebut, Dana sempat mengajak temannya membuka kafe sendiri. Upaya ini diharapkan bisa berbagi pengalaman dan rejeki kepada sesama komunitas Punk yang masih di jalan. Sehingga ketika ada lowongan pekerjaan di café, mereka bisa mendaftar sebagai pramusaji, barista, hingga manajer.
Berkah lain yang didapatkan Dana adalah pulihnya kembali komunikasinya dengan keluarga di Malang. Terutama dengan ibu dan adik perempuan satu-satunya yang ditinggalkan saat masih kecil. Sebagai anak sulung, Dana ikut memenuhi kebutuhan adiknya.
“Sekedar uang jajan saya transfer. Yang jelas pengalaman di jalan sangat mempengaruhi pola pikir saya. Kami (komunitas punk) sudah seperti saudara. Mereka yang selalu support untuk kebaikan saya. Belajar tetap hidup dalam situasi dan keadaan apapun. Belajar itu seumur hidup,” kata Dana yang tak lagi minder meski tak mengantongi ijazah sekolah.
Penulis: Novira Kharisma
Editor: HTW
Tonton Video: