Bacaini.ID, KEDIRI – Pulau Madura bukan hanya tentang sate dan karapan sapi namun juga seni tari yang menawan.
Kesenian tari di Madura diketahui bukan sekedar hiburan panggung.
Gerakan tubuh yang tegas dengan iringan irama saronen yang rancak menyimpan makna yang dalam. Hal itu mengisahkan kehidupan dan karakter suku Madura yang keras namun hangat.
Tarian di Madura lahir dari keseharian masyarakat yang sebagian bertani di lahan kering, beternak, nelayan, hingga doa-doa yang dilantunkan dalam upacara adat.
Setiap hentakan kaki dan lenggokan tangan membawa pesan keberanian, kegigihan, juga tentang rasa syukur.
Hingga kini, sanggar-sanggar tari di Bangkalan, Sumenep, dan Pamekasan masih setia menabuh saronen dan mewariskan gerak tari kepada generasi muda.
Bukan hanya tentang estetika, namun juga tentang menjaga identitas agar Madura dikenal bukan hanya karena sapinya, namun juga karena tariannya yang indah.
Baca Juga:
- 7 November Hari Wayang Nasional, Ini 3 Dalang ‘Abadi’
- OTT KPK Terhadap Bupati Ponorogo Terkait Mutasi Jabatan?
- Suami Anggota DPRD Trenggalek Penganiaya Guru Minta Damai
Tari Muang Sangkal
Tari muang sangkal diciptakan pada tahun 1972 oleh seniman Sumenep, Taufikurrachman, yang mengangkat sejarah kehidupan karaton Sumenep tempo dulu.
Tari ini merupakan jenis tarian sakral dengan tujuan sebagai penolak bala dan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh Kemdikbud RI di tahun 2012.
Muang Sangkal ditarikan oleh para perempuan dengan jumlah ganjil. Memakai kostum pengantin dodot legha khas Sumenep.
Perpaduan warna merah dan kuning dalam kostum tersebut menggambarkan suasana hati raja yang sedang bahagia.
Sedangkan jika kostum yang dipakai penari berwarna perpaduan merah dan hijau atau kuning dan hijau, menandakan susana hati raja yang sedang tidak baik atau marah.
Para penari selain memakai kostum yang khas, juga membawa cemong, mangkok kuningan, berisi bunga dan beras kuning yang ditaburkan di akhir tarian.
Tari Rondhing
Tarian ini menggambarkan semangat juang suku Madura melawan penjajah Belanda melalui gerakan-gerakan seperti prajurit.
Berbaris dengan hentakan kaki ritmis dan gerakan bela diri. Semua dilakukan dengan tegas dan enerjik. Karenanya, tarian ini seringkali disebut juga sebagai ‘tari baris’ atau ‘tari kenca’.
Tarian yang sudah ada sejak tahun 1906 ini lazimnya ditarikan oleh enam penari pria. Namun dalam perkembangannya, tarian ini juga ditarikan oleh penari perempuan dengan kostum yang sama.
Musik yang digunakan pada tarian ini memiliki kemiripan dengan musik pengiring pencak silat di Madura yang disebut ‘tabuan kenek’.
Tari Topeng Gethak
Tari topeng gethak awalnya adalah bagian dari pertunjukan ludruk sandur. Tarian ini menceritakan tentang perjuangan rakyat maupun legenda lokal.
Konon, melalui tarian ini masyarakat Madura menggunakannya sebagai media penyampaian aspirasi secara tidak langsung dengan menyamarkan identitas, menggunakan topeng.
Sebelum tahun 1980-an, tarian ini bernama Tari Klonoan, hingga kemudian diubah oleh tokoh seniman Pamekasan, Parso Adiyanto, menjadi tari topeng gethak.
Ditarikan oleh penari tunggal laki-laki di awal terciptanya, hingga kemudian berkembang juga ditarikan oleh penari perempuan maupun secara massal.
Tari Gambu
Menggambarkan perjuangan dan semangat kepahlawanan. Tari Gambu dilakukan dengan membawa tameng dan pedang atau tombak kecil.
Pada awalnya, tari gambu lebih dikenal sebagai tari keris. Dalam Serat Pararaton, tari gambu disebut dengan ‘tari silat sudukan dhuwung’.
Tari ini diciptakan oleh Arya Wiraraja dan diajarkan pada pengikut Raden Wijaya saat mengungsi di Keraton Sumenep.
Tarian ini sempat mati suri, hingga kemudian dihidupkan kembali oleh seorang adipati yang peduli dengan seni budaya, Kanjeng Pangeran Ario Anggadipa, di tahun 1630.
Berubah nama menjadi ‘tari kambuh’ yang dalam bahasa Jawa artinya ‘terulang kembali’, dan seiring berjalan waktu, mengikuti pengucapan logat Madura, menjadi ‘gambuh’.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif





