KEDIRI – Wawancara jurnalis Najwa Shihab dengan kursi kosong menjadi polemik. Wawancara tersebut bahkan sempat dilaporkan polisi karena dianggap melecehkan pejabat negara.
Lantas bolehkah wawancara seperti itu dilakukan oleh seorang jurnalis?
Bacaini.id mewawancarai Dwidjo Utomo Maksum, anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Dengan tegas Dwidjo mengatakan bahwa wawancara kursi kosong yang dilakukan Najwa Shihab adalah karya jurnalistik.
“Apakah acara Mbak Nana (Najwa Shihab) ini termasuk kategori karya jurnalistik, saya jawab iya,” jelas Dwidjo saat ditemui di kediamannya, Rabu 7 Oktober 2020.
Pemimpin Redaksi media online Kediripedia.com ini mengatakan, tidak ada yang harus dipersoalkan dari wawancara tersebut. Karena menurut pengakuan Najwa, dia sudah melakukan kajian mendalam terkait tokoh yang akan diundang. Ini berarti Najwa Shihab telah melakukan langkah-langkah jurnalistik sesuai kaidah yang ditentukan.
Dwidjo menyebut, wawancara kursi kosong yang dilakukan Najwa Shihab adalah bagian dari kreatifitas dan kredibilitasnya sebagai presenter talkshow publik.
Toh sebelum hal itu dilakukan, Najwa sudah berusaha keras menghubungi Menteri Kesehatan Terawan untuk datang. Sebagai pejabat publik, Najwa berhak meminta penjelasan atas apa yang telah dilakukan menyangkut kepentingan orang banyak.
“Dia (Najwa) sudah berusaha menghubungi narasumbernya. Bahkan mungkin dengan banyak upaya, tetapi tidak berhasil mendatangkan Pak Menteri Terawan,” kata Dwidjo.
Dwidjo lantas menganalogikan kasus tersebut dengan salah satu tabloid di tahun 90-an yang sempat diberedel era Soeharto. Di sana terdapat kolom wawancara imajiner yang menjadi salah satu konten Tabloid Detik. Penulis seolah-olah mewawancarai Soekarno yang jelas-jelas sudah wafat saat itu.
Dalam rubrik tersebut, penulis seperti sedang bertatap muka dengan Soekarno dan menanyakan banyak hal. Dari wawancara tersebut pembaca yang belum tahu tentang sosok presiden pertama RI menjadi faham. Itulah tujuan dari karya jurnalistik.
”Bukan berarti mengarang ya, tetapi penulis itu punya interpretasi. Dia sudah benar-benar memahami Soekarno. Saya rasa kursi kosong yang di kasusnya Mbak Nana sama dengan wawancara imajiner yang saya ceritakan tadi,” pungkasnya. (MU)