Bacaini.ID, KEDIRI – Ada sejumlah orang yang sengaja tidak memperlihatkan diri di media sosial. Tak pernah mengganti foto profil dan jarang mengunggah postingan.
Sangat berbeda dengan mereka yang dikit-dikit posting di medsos (narasi dan visual) untuk ‘memamerkan’ sisi terbaiknya atau pencapaiannya. Istilah gen-Z, sibuk berburu validasi.
Sementara mereka yang sengaja ‘tenggelam’ dalam medsos, hanya mengunggah hal penting kalau itu perlu diunggah atau justru hal remeh bersifat humor. Hal ini menjadi fenomena umum, apalagi sejak era AI (Artificial Intelligence).
Baca Juga:
- Gen Z Ogah Gabung Partai Politik, Tapi Tetap Kritis di Medsos
- Wali Kota Kediri Gelar Diskusi Bersama Pegiat Medsos
- Menawarkan Gagasan Ponorogo Smart City Via Ko-Kreasi
Berdasarkan laporan DataReportal 2024, sekitar 21% pengguna internet Indonesia mengaku tidak pernah mengunggah konten pribadi dan menggunakan media sosial hanya untuk konsumsi pasif.
Ini menunjukkan bahwa ‘diam di media sosial’ bukan perilaku aneh, melainkan hal yang wajar dalam penggunaan digital.
Psikologi menyebut pola ini sebagai bagian dari ‘selective self-presentation’, atau presentasi diri yang sangat terkurasi.
Sebuah studi dari University of Bath di tahun 2022 menemukan bahwa orang yang tidak aktif posting cenderung memiliki self-concept yang stabil dan tidak bergantung pada penilaian sosial online.
Dengan kata lain, mereka tidak merasa perlu memastikan keberadaan diri melalui like, komentar, atau foto profil.
Keheningan digital mereka bukan bentuk menarik diri, namun pilihan sadar untuk menjaga kenyamanan psikologis.
Banyak pengguna media sosial mulai sadar bahwa tidak semua yang terjadi dalam hidup perlu dibagikan. Apalagi dengan makin maraknya penyalahgunaan identitas melalui AI, satu foto saja bisa membawa seseorang dalam masalah besar.
Berikut karakter seseorang yang tidak aktif di media sosial menurut psikologi:
Kebutuhan Privasi yang Tinggi
Privasi menjadi alasan utama banyak orang tidak memasang foto profil maupun memosting foto atau kegiatannya.
Menurut studi Pew Research Center, lebih dari 60% pengguna internet global memilih untuk menyembunyikan sebagian identitasnya karena kekhawatiran soal keamanan data.
Kesadaran pada pentingnya privasi demi keamanan semakin meningkat. Foto profil adalah bagian paling mudah diekspos, sehingga sebagian orang menghindarinya demi rasa aman.
Dalam psikologi, kebutuhan privasi yang tinggi sering ditemukan pada individu dengan ‘internal locus of control’. Orang yang merasa nyaman ketika dapat mengendalikan informasi tentang dirinya. Tidak memasang foto bukan tanda kurang percaya diri, namun mekanisme kontrol.
Kepribadian Introvert atau Reserved
Personality sangat memengaruhi perilaku online. Menurut riset Cambridge Personality Project yang menganalisis 8.000 pengguna medsos, individu yang masuk kategori introvert dan reserved cenderung memiliki aktivitas posting 45–60% lebih rendah daripada ekstrovert.
Mereka juga lebih jarang menggunakan identitas visual. Introvert bukan berarti pemalu, mereka hanya memprioritaskan ruang internal dan interaksi bermakna. Tidak adanya foto profil bukanlah tembok, namun cara mengatur energi sosial.
Tidak Mencari Validasi Sosial
Studi dari University of Michigan menunjukkan bahwa pengguna yang jarang posting memiliki tingkat ketergantungan lebih rendah terhadap ‘social evaluation’.
Mereka tidak memerlukan umpan balik berupa likes atau komentar untuk merasa dihargai. Namun justru memiliki pola ‘stable self-esteem’, kepercayaan diri yang tidak bergantung pada respons eksternal.
Hal ini sering disalahartikan sebagai tidak ingin terlihat, padahal sebenarnya mereka merasa cukup dengan dirinya sendiri.
Digital Minimalism dan Burnout Media Sosial
Konsep ‘digital minimalism’ yang dipopulerkan Cal Newport semakin relevan. Data dari American Psychological Association (APA) menemukan bahwa 47% generasi muda mengalami kelelahan (burnout) akibat penggunaan media sosial.
Sebagai respon, sebagian memilih membatasi jejak digital: tidak posting, tidak upload foto, bahkan tidak pasang foto profil.
Dengan meminimalkan konten pribadi, mereka menjaga mental tetap terjaga. Media sosial hanya digunakan untuk hal penting: pekerjaan, informasi, atau komunikasi tertentu.
Trauma atau Pengalaman Buruk Online
Banyak orang enggan tampil karena pengalaman negatif.
Menurut Norton Cyber Safety Insights Report 2024, sekitar 38% orang di Asia Tenggara pernah mengalami penyalahgunaan foto atau cyberbullying. Bahkan pengalaman kecil seperti komentar buruk, candaan soal wajah, atau stalking, bisa memengaruhi perilaku digital jangka panjang.
Mengurangi jejak visual membuat mereka kembali merasa aman.
Tidak Nyaman Menjadi Pusat Perhatian
Dalam psikologi sosial, ada istilah ‘high self-consciousness’, yaitu sensitif terhadap penilaian.
Studi dari Journal of Social and Clinical Psychology menunjukkan bahwa orang-orang dengan sensitivitas tinggi ini sering menghindari aktivitas yang membuat mereka terlihat, termasuk memasang foto profil atau mengunggah selfie.
Bagi mereka, hal sederhana seperti memutuskan foto mana yang harus diunggah dapat memicu kecemasan.
Melihat Medsos Sebagai Ruang Drama
Sebagian orang merasa media sosial penuh pencitraan. Laporan Nokia Mobile Behavior Survey 2024 menemukan bahwa 55% pengguna muda merasa media sosial tidak mencerminkan kehidupan nyata. Mereka yang sadar akan bias ini lebih memilih menjaga jarak.
Jarang posting atau tidak menggunakan foto profil adalah bentuk penolakan terhadap ‘kewajiban tampil’ yang dianggap tidak perlu. Dunia maya, bukan lagi hal penting yang harus diprioritaskan.
Fokus pada Dunia Nyata
Fenomena ini semakin umum. Gallup Global Wellbeing Report mencatat bahwa orang yang membatasi penggunaan media sosial melaporkan tingkat kepuasan hidup 17% lebih tinggi.
Individu yang jarang posting biasanya memiliki orientasi hidup yang kuat: keluarga, pekerjaan, hobi, atau pengembangan diri. Energi mereka tidak diarahkan untuk estetika digital. Kecuali untuk hal yang berhubungan dengan pekerjaan mereka di dunia digital.
Profesionalisme dan Batasan Personal
Beberapa orang merasa bahwa kehidupan pribadi tidak perlu bercampur dengan ruang publik. Tidak memasang foto profil atau kegiatan di media sosial adalah cara menjaga batas profesional.
Dalam survei LinkedIn Workforce Report 2023, ada temuan bahwa semakin tinggi jabatan seseorang, semakin sedikit aktivitas posting personalnya.
Ini menunjukkan bahwa diam juga bisa mencerminkan kedewasaan dan kontrol diri.
Menikmati Anonimitas
Studi dari Oxford Internet Institute menyebut bahwa anonimitas memberi rasa bebas, aman, dan netral. Mereka dapat mengevaluasi informasi tanpa beban identitas.
Anonimitas adalah rumah yang nyaman bagi orang-orang yang tidak suka keramaian digital. Bisa jadi ini menjadi alasan mengapa banyak orang, terutama kaum muda, memiliki ‘second account’.
Akun anonim yang dimanfaatkan untuk berselancar di media sosial tanpa perlu merasa terbebani dengan kebutuhan menjaga identitas diri.
Jadi seseorang yang terlihat tidak memasang foto profil, jarang posting, dan hanya menggunakan media sosial untuk hal penting bukanlah perilaku aneh.
Justru, banyak data dan penelitian menunjukkan bahwa pola ini menunjukkan kematangan emosional mereka terkait privasi, keamanan, gaya hidup bahkan kesehatan mental minimalis.
Mereka bukanlah orang yang tertutup, namun individu yang memiliki kendali dan mengetahui prioritas hidup.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif





