Siapa sangka, selama dua tahun terjadilah penurunan debit air di Telaga Buret. Kondisi itu berdampak pada hasil panen masyarakat petani di empat desa tersebut. Bahkan disaat bersamaan juga mulai terjadi pembalakan liar.
Akibat dari menurunnya debit air Telaga Buret petani padi hanya panen satu kali dalam waktu satu tahun. Namun setelah masyarakat kembali menggelar upacara ulur-ulur debit air kembali naik dan petani bisa panen empat kali dalam setahun.
“Air Telaga Buret ini mengalir di lahan sawah seluas 700 hektare. Terjaganya kelestarian air berdampak pada hasil panen petani. Selama bertahun-tahun upacara ulur-ulur digelar, debit air kian bertambah setiap tahun,” paparnya.
Karsi menegaskan bahwa kebudayaan dan ekologi memiliki korelasi yang saling mengikat. Adanya tradisi ulur-ulur ini menunjukan bahwa nenek moyang telah meninggalkan sebuah hukum alam untuk menjaga kelestarian air dan hutan.
“Saat ini area konservasi Telaga Buret mencapi 22,8 hektare. Selain itu juga terdapat greenbelt seluas 60 hektare. Ditambah adanya tradisi ulur-ulur, membuat kelastarian air tetap terjaga,” imbuhnya.
Penulis: Setiawan
Editor: Novira