Bacaini.ID, KEDIRI – Tradisi adu betis di masyarakat Sulawesi Selatan merupakan kekayaan budaya di Indonesia. Menjadi salah satu kebudayaan yang unik.
Dalam bahasa lokal bernama Mallanca. Dikenal sebagai ajang adu kekuatan sekaligus simbol kedewasaan bagi para lelaki muda di kampung-kampung adat.
Meski terlihat ekstrem, adu betis bagian dari ritual sosial yang mengakar kuat dalam budaya masyarakat Sulawesi, khususnya Bugis, Toraja, dan Luwu.
Asal-Usul Adu Betis Sulawesi
Tradisi adu betis dipercaya sudah ada sejak abad ke-17, sebagaimana tercatat dalam Lontara Bugis, naskah kuno yang memuat adat istiadat dan hukum tradisional masyarakat Bugis.
Adu betis biasanya dilakukan dalam acara syukuran pasca panen, perayaan pesta rakyat seperti Rambu Solo’ atau Rambu Tuka’ di Toraja dan sebagai ajang pembuktian kedewasaan lelaki muda.
Menurut Prof. Dr. Andi Faisal Bakti dari Universitas Hasanuddin, tradisi ini dulu menjadi media latihan ketahanan fisik dan mental bagi pemuda desa sebelum mereka masuk ke dunia dewasa.
Ritus Adu Betis
Meski tampak sederhana, pelaksanaan adu betis memiliki tahapan dan aturan adat yang harus dihormati.
• Pemilihan Peserta
Peserta adu betis adalah laki-laki usia 17–35 tahun. Harus sehat jasmani tanpa riwayat penyakit tulang atau sendi.
Biasanya terdiri dari dua kelompok mewakili dua kampung atau dua pihak yang ingin menguji kekompakan dan kekuatan.
• Persiapan Ritual
Sebelum dimulai, peserta adu betis lebih dulu melakukan ritual pembersihan diri atau Mappacci, yaitu membersihkan tangan dan kaki dengan daun sirih.
Setelah itu berdoa bersama dipimpin tetua adat agar acara berjalan lancar dan aman.
• Pelaksanaan Adu Betis
Adu betis dilakukan dengan peserta berbaris dua barisan berhadap-hadapan.
Kemudian satu orang maju memukul betis lawan dengan kaki secara bergantian.
Tradisi ini memiliki aturan hanya boleh mengenai betis. Jika mengenai bagian lain dianggap melanggar adat.
Adu betis diulang beberapa ronde hingga salah satu pihak menyerah atau dinilai kalah mental.
• Penilaian
Tidak ada juri resmi. Penonton dan tetua adat yang menilai siapa yang paling kuat atau paling tahan terhadap rasa sakit.
Setelah selesai, peserta makan bersama sebagai tanda persaudaraan.
Tradisi ini berasal dari Bugis, Toraja, Luwu, Bone dan Enrakang. Kini, adu betis atau mallanca hanya dilakukan secara terbatas di festival budaya masyarakat setempat.
Dalam adu betis, laki-laki dilatih memiliki ketangguhan fisik dan mental. Juga diajarkan sportivitas dan merekatkan persaudaraan.
Hal ini ditunjukkan ketika pertandingan selesai. Para peserta saling berangkulan dan makan bersama.
Tradisi adu betis juga mengajarkan peran sosial laki-laki dalam masyarakat adat.
Dalam budaya Bugis dan Toraja, lelaki diharapkan menjadi pelindung keluarga. Tradisi ini menjadi simbol latihan peran tersebut.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif