Bacaini.ID, BLITAR – Shodanco Soeprijadi atau Supriyadi pemimpin pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) 14 Februari 1945 sering disalahpahami berasal dari Blitar Jawa Timur. Padahal faktanya tidak demikian.
Bernama lahir Priyambodo, Supriyadi diketahui lahir 13 April 1923 di Kabupaten Trenggalek Jawa Timur. Ayahnya, Darmadi merupakan pegawai pamong praja yang kelak menjabat Bupati Blitar.
Supriyadi sejak kecil diketahui sebagai piatu. Ibunya, Rahayu meninggal dunia dan Darmadi kemudian menikah lagi dengan Soesilih, perempuan yang masih kerabat.
Sosrodihardjo, ayah Soesilih yang bekerja sebagai mantri guru di Kertosono melihat potensi besar pada diri bocah kecil Supriyadi, dan memutuskan untuk mengasuhnya.
Sosrodihardjo diketahui yang mengubah nama Priyambodo menjadi Supriyadi dan kemudian mengajarinya nilai kepahlawanan, laku tirakat, semedi dan tradisi kejawen lainnya.
Kolonel Zulkifli Lubis yang dikenal sebagai Kepala Badan Intelijen (BIN) pertama Republik Indonesia mengatakan Supriyadi sangat benci Jepang.
Pemuda Supriyadi memiliki pribadi eksentrik, suka memendam pikiran, tapi memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat.
Seorang penyendiri yang gemar menyamakan diri dengan Pangeran Diponegoro.
Ketidaksukaan Supriyadi terhadap Jepang, kata Zulkifli sempat terucap saat keduanya sama-sama mengikuti pendidikan perwira PETA di Bogor, Jawa Barat.
Bersama Daan Mogot dan Soeharto, keduanya diketahui angkatan pertama pendidikan perwira PETA di Bogor. Sementara Sudirman justru angkatan kedua.
“Ketika kami berada di Bogor, ia sering mengatakan, kita tidak dapat mempercayai Jepang,” demikian dikutip dari buku Soeharto di Bawah Militerisme Jepang.
Lantaran peristiwa pemberontakan PETA, kemudian banyak yang menganggap bahwa Shodanco Supriyadi berasal dari Blitar.
Bahkan namanya diabadikan sebagai nama stadion di Kota Blitar. Padahal faktanya Shodanco Supriyadi lahir di Kabupaten Trenggalek.
Kemudian yang juga kerap disalahpahami lahir dan berasal dari Blitar adalah Proklamator RI Soekarno atau Bung Karno. Padahal bukan.
Bung Karno lahir 6 Juni 1901 di Peneleh, Surabaya, Jawa Timur dengan melewati masa kecil yang berpindah-pindah.
Soekarno diketahui pernah tinggal di Mojokerto, Kediri dan Tulungagung. Blitar justru tidak banyak menjadi perlintasan masa kecil Bung Karno.
Pengubahan nama Kusno menjadi Karno atau Soekarno lantaran sakit keras dan nyaris meninggal, terjadi di Ndalem Pojok, Kabupaten Kediri, bukan di Blitar.
Bung Karno mengenal nilai-nilai kemanusiaan di Kabupaten Tulungagung, yakni saat diasuh kakeknya.
Bung Karno banyak diajari Sarinah atau Mbok Sarinah, pengasuhnya yang kelak ia abadikan dalam buku Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia.
Sementara Ndalem Gebang di Kota Blitar yang kerap disebut rumah masa kecil Bung Karno diketahui rumah milik Soekarmini atau Bu Wardoyo, kakak kandung Bung Karno.
Rumah yang kemudian dibeli Pemkot Blitar untuk dijadikan museum itu merupakan pemberian Poegoh, suami pertama Soekarmini.
Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970 dan melalui Keppres RI No 44 Tahun 1970 yang dikeluarkan Presiden Soeharto, jenazahnya dimakamkan di Kota Blitar.
Padahal dalam surat wasiatnya Bung Karno menginginkan dimakamkan di sebuah tempat yang merujuk wilayah Bogor, Jawa Barat.
Keberadaan makam di Kota Blitar yang membuat banyak orang kemudian menyalahpamahi Bung Karno lahir atau berasal dari Blitar.
Berikutnya yang juga kerap disalahpahami berasal dari Blitar adalah Kusni Kasdut, mantan pejuang peristiwa 10 November 1945 yang kemudian lebih dikenal sebagai penjahat besar.
Kusni Kasdut merupakan korban kebijakan politik ReRa (Rekonstruksi dan Rasionalisasi) di militer Indonesia yang dikeluarkan Kabinet Hatta.
Kusni yang kecewa kepada negara yang menurutnya tidak adil, kemudian memilih jalan hidup sebagai perampok.
Keterangan berasal dari Blitar itu diucapkan Kusni secara asal saat pertama kali tertangkap dan diinterogasi aparat kepolisian Semarang.
Kusni Kasdut mengaku lahir Desember 1929 di Desa Jatituri Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar.
Dalam buku Kusni Kasdut, Kusni terungkap lahir di Desa Bayan Patikrejo Kabupaten Tulungagung dan kemudian sejak remaja tumbuh di Malang.
Ayahnya bernama Wonomejo atau Wonorejo, seorang petani biasa, bukan kepala desa. Ibu Kusni Kasdut bernama Kastum alias Kusmilah alias Kuntring.
Saat dinikahi Wonomejo yang merupakan duda delapan anak, Kuntring bersatus janda satu anak. Suami Kuntring sebelumnya yang meninggal dunia adalah adik kandung Wonomejo.
Pada 10 November 1979, grasi Kusni Kasdut ditolak Presiden Soeharto. Pada 6 Februari 1980, bekas pejuang kemerdekaan itu dieksekusi mati sebagai penjahat besar.
Meski lahir di Kabupaten Tulungagung, hingga kini masih banyak yang menyalahpahami Kusni Kasdut berasal dari Blitar.
Penulis: Solichan Arif