Jepang mengetahui pergerakan Syodanco Supriyadi dan pasukan PETA Blitar. Dikerahkannya pasukan dari berbagai daerah terdekat melakukan pengepungan.
Suroto menceritakan peristiwa di hutan Maliran itu sebagai pembantaian. Dalam posisi terpojok karena terkepung, pasukan PETA Syodanco Supriyadi ditembaki.
Tank Jepang kemudian menyerbu untuk memastikan semuanya tewas. Secara implisit, Suroto meyakini kakaknya ikut terbunuh dalam peristiwa pembantaian itu.
“Jam 07.30 Wib pagi (di hutan maliran Ponggok) dikepung rapet gak iso metu (dikepung rapat gak bisa keluar), ditembaki. Ya mesti ada Supriyadi, dia yang mimpin,” tutur Suroto
Yang disesalkan Suroto kenapa peristiwa pembantaian pasukan PETA Blitar di hutan Maliran itu tidak pernah tertulis dalam sejarah. Padahal itu bisa mengungkap teka-teki nasib Syodanco Supriyadi.
Suroto mengaku pernah menyampaikan kisah Maliran itu kepada Nugroho Notosusanto, yakni menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era pemerintahan Orde Baru. Namun tidak ada tindak lanjut. “Sudah pernah saya sampaikan saat ada di Jakarta,” ungkapnya.
Terkait penyusunan komik, Suroto meminta konten komik dengan tokoh utama Syodanco Soeprijadi tidak memuat desas-desus atau cerita yang tidak masuk akal. Ia juga meminta alasan pemberontakan PETA Blitar diungkap secara jelas.
Sementara menanggapi testimoni itu pihak Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Blitar mengatakan semua informasi yang disampaikan dalam FGD menjadi pengetahuan berharga tentang sejarah Pemberontakan PETA Blitar, khususnya terkait Syodanco Supriyadi.
Seperti yang tercatat dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, nasib Syodanco Supriyadi pasca peristiwa 14 Februari 1945 menjadi misteri. Tidak diketahui pasti apakah masih hidup atau turut dibantai tentara Jepang.
Saat Presiden Soekarno mengukuhkan sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia, Supriyadi juga tidak pernah hadir.
Penulis: Solichan Arif