Bacaini.ID, KEDIRI – Anak yang paling berbakti dalam banyak keluarga justru seringkali kurang mendapat perhatian dari orang tua.
Yang dimaksud anak berbakti ini merujuk pada tipologi anak yang paling banyak berkorban, membantu, dan selalu bisa diandalkan orang tua.
Golongan anak berbakti ini kurang diakui oleh orang tua. Seolah hal itu menjadi takdir sosialnya di dalam keluarga.
Sementara anak yang dianggap lemah, kurang mandiri, atau lebih sering merepotkan justru sering dibela dan dilindungi.
Fenomena ini banyak terjadi di belahan dunia manapun.
Sebuah studi membuktikan orang tua selalu membela anak yang paling sedikit berbuat untuk mereka, dan anak yang paling sering membantu justru dianggap remeh.
Penelitian menyebutkan bahwa pola ini disebut sebagai bagian dari Safety Net Theory, yaitu ketika anak yang paling dapat diandalkan menjadi ‘jaring pengaman emosional’, atau emotional safety net bagi keluarga.
Menurut teori ini, orang tua merasa aman bergantung pada anak yang paling bisa dipercaya.
Sehingga tanpa sadar mereka memberikan perhatian lebih kepada anak yang dianggap ‘rentan’ karena melihat anak yang kuat sudah mampu bertahan sendiri.
Baca Juga: Apa itu Co-Parenting? Pola Pengasuhan Anak Pasca Perceraian
Bagaimana ‘Safety Net Theory’ Bisa Terjadi
Fenomena ini telah diteliti oleh sejumlah psikolog keluarga.
Salah satunya adalah penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Family Psychology di tahun 2019.
Studi tersebut menemukan bahwa 76% keluarga memiliki kecenderungan favoritisme, di mana anak yang dianggap ‘kurang mampu’ sering mendapat perhatian lebih dari orang tua.
Menurut para peneliti, hal ini terjadi karena dorongan naluriah orang tua untuk ‘melindungi yang lemah’.
Namun, tanpa disadari perilaku ini dapat menciptakan ketidakseimbangan emosional di dalam keluarga.
Studi lain dari American Psychological Association (APA) juga menunjukkan bahwa anak yang selalu bisa diandalkan cenderung mengalami emotional burnout atau kelelahan emosional.
Mereka sering mengambil tanggung jawab lebih besar, baik dalam urusan rumah tangga maupun menjadi penengah konflik dalam keluarga.
Ada beberapa alasan mengapa fenomena ini bisa terjadi secara tidak sadar:
• Rasa Bersalah dan Kekhawatiran
Orang tua mungkin merasa bersalah atau khawatir terhadap anak yang terlihat lemah atau kesulitan, sehingga mereka memberi perlindungan ekstra.
Misalnya, anak yang sering sakit atau memiliki masalah dalam bersosialisasi akan mendapat perhatian lebih.
• Anak yang Bisa Diandalkan Memberi Rasa Aman
Anak yang selalu membantu dan mandiri memberi rasa aman bagi orang tua.
Karena merasa anak ini sudah kuat, mereka sering berpikir tidak perlu memberikan perhatian yang sama besar.
• Budaya dan Norma Sosial
Dalam beberapa budaya, termasuk di Indonesia, anak pertama sering diharapkan menjadi ‘teladan’ dan ‘penopang keluarga’.
Atau anak yang sering merantau dan jauh dari keluarga, dianggap lebih mandiri walaupun tanpa dukungan intens.
Hal ini memperkuat pola favoritisme yang tidak seimbang, atau seringkali disebut dengan ‘pilih kasih’.
Dampak Psikologis Jangka Panjang pada Anak
Fenomena ini bisa berdampak serius, terutama bagi anak yang selalu dianggap kuat. Berikut beberapa dampak yang sering muncul:
• Perasaan Tidak Dihargai
Anak yang selalu berkorban merasa keberadaannya tidak dihargai, karena pengorbanan mereka dianggap hal biasa.
• Burnout dan Kelelahan Emosional
Karena selalu memikul tanggung jawab lebih, mereka berisiko mengalami stres dan depresi.
• Hubungan yang Renggang
Ketidakseimbangan perhatian bisa menciptakan rasa iri atau konflik antara saudara kandung.
• Kesulitan Membuat Batasan di Masa Dewasa
Anak yang selalu jadi ‘safety net’ sering tumbuh menjadi orang dewasa yang kesulitan mengatakan ‘tidak’, karena terbiasa menanggung beban orang lain.
Cara Mengatasi dan Menciptakan Keseimbangan
Para ahli psikologi keluarga menyarankan beberapa langkah untuk menciptakan hubungan yang lebih sehat dan seimbang dalam keluarga:
• Sadari Pola Perilaku
Langkah pertama adalah mengenali jika favoritisme sedang terjadi dalam keluarga.
• Berikan Apresiasi yang Setara
Pastikan setiap anak merasa dihargai, baik yang mandiri maupun yang membutuhkan lebih banyak dukungan.
• Komunikasi Terbuka
Luangkan waktu untuk berbicara dengan anak-anak secara individual, sehingga mereka merasa didengar.
• Buat Aturan Keluarga yang Jelas
Pembagian tanggung jawab harus jelas dan adil agar tidak ada satu pihak yang merasa terlalu terbebani.
• Pertimbangkan Konseling Keluarga
Jika konflik sudah terlalu kompleks, konseling keluarga bisa membantu menemukan solusi yang sehat.
Dengan kesadaran dan komunikasi yang sehat, keluarga dapat menciptakan keseimbangan, memastikan setiap anak merasa dihargai dan dicintai tanpa memandang seberapa besar kontribusi mereka.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif





