Bacaini.id, KEDIRI – Salah satu resep menjaga citra Bah Kacung sebagai pelopor tahu takwa adalah mempertahankan cara tradisional. Hingga kini Herman, penerus Bah Kacung, tetap setia menggunakan peralatan kayu dan batu, serta dikerjakan manual dengan tenaga manusia. Bahkan juga masih mempertahankan kayu sebagai bahan bakarnya.
“Dengan menggunakan gilingan ini rasa tahu lebih gurih karena bubur kedelai tidak lumat terlalu halus seperti hasil jika digiling dengan mesin. Bahkan ampas tahunya masih terasa gurih,” jelas Herman. Sementara industri tahu Kediri lainnya sudah lebih maju. Mereka berproduksi dengan peralatan dan kemasan moderen berbahan pengawet, sehingga bisa mengirim tahu ke luar Kediri.
Tak heran, dibanding kompetitornya, jumlah produksi tahu Bah Kacung lebih terbatas. Meski telah memulai usaha sejak puluhan tahun silam, Bah Kacung hanya memiliki satu gerai cabang di Jalan Yos Sudarso. Mereka juga tidak menitipkan tahu ke agen manapun.
Rahasia keawetan cita rasa lainnya adalah penggunaan kedelai lokal yang diyakini lebih gurih dan harum. Memang resikonya pada proses pembuatan, yakni memakan waktu lebih panjang. Sebelum dimasak, kedelai harus benar benar bersih dari kulit ari. Tujuannya agar tahu tidak cepat masam. Untuk melucuti kulit ari, kedelai harus melalui proses perendaman selama enam jam.
baca ini Bah Kacung Pelopor Tahu Takwa Kediri
Setelah bersih, kedelai baru digiling hingga menjadi adonan bubur halus. Perkakas giling ini berupa roda batu yang ditumpuk sehingga as roda bersatu, dan diberi tangkai kayu untuk memutar. Tumbukan batu membuat kedelai berubah menjadi bubur encer kedelai putih.
Tahap berikutnya, bubur kedelai dipanasi di dalam bak atau tungku semen dengan berbahan bakar kayu. Konon bahan bakar kayu membuat tahu matang merata atau lebih tanak. Api pembakaran juga tidak boleh besar. Namun juga tidak boleh sampai mati.
Setelah matang, bubur kedelai disaring dengan kain. Penyaringan untuk memisahkan dari ampas. Biasanya ampas ini dibeli orang untuk diolah menjadi tempe menjes. Dengan takaran tertentu cairan yang sudah disaring dan dicampuri cuka itu diaduk sampai menggumpal.
Langkah selanjutnya menuang adonan menggumpal itu ke dalam alat kayu. Proses penuangan ini biasanya disertai penekanan supaya padat dan rata. Agar tahu tidak berair, alat pres kayu diberi empat bandulan besi, yakni masing masing seberat 20 kilogram.
Adonan berada disana selama seperempat jam, sebelum akhirnya menjadi tahu yang dipotong dan siap dijual. “Tak selalu berupa tahu putih, sebagian juga diolah menjadi takwa atau tahu kuning, “terang Herman.
Tahu takwa adalah tahu putih yang telah jadi dimasak dalam campuran air dan tumbukan kunyit, serta sedikit garam. Itu sebabnya, rasa takwa gurih dan sedikit asin. Warnanya juga kuning dan baunya lebih harum ketimbang tahu biasa. Takwa juga enak dimakan begitu saja tanpa dimasak terlebih dulu.
Dalam satu hari Herman dapat berproduksi 200 potong tahu yang berasal dari 20 kilogram biji kedelai. Memang sangat sedikit karena tidak memasarkan ke agen, hanya cukup di tokonya saja. Selain itu cara pengolahan juga mempengaruhi dari kuantitas tahu.
“Jika menggunakan gilingan mesin dapat dihasilkan lebih 200 potong tahu dari 20 kilogram kedelai. Tapi menurut ayah saya rasa tahu akan berbeda dari yang biasa kami buat. Karena menggunakan gilingan bubur kedelai akan sangat halus. Bahkan ampasnya sangat sedikit,” kata Herman.
Kendati demikian, di waktu tertentu Herman juga meningkatkan produksi. Misalnya waktu liburan atau saat hari perayaan agama, jumlah tahu yang dibuat dilipatgandakan. Pembelinya tentu saja tidak hanya dari kota Kediri saja tapi juga luar kota, terutama pelanggan dari zaman Bah Kacung.
Tahu dan takwa hasil produksi Bah Kacung memang terkenal berkadar air rendah dan tidak cepat basi. “Kami akan tetap memperlakukan tahu sebagai makanan yang sehat dan bergizi. Membuat dengan benar dan menambahkan bahan yang dapat berbahaya bagi kesehatan. Ini pesan turun temurun,” ungkap Herman.
Penulis: HTW
Tonton video:
Comments 1