Bacaini.ID, KEDIRI – Majunya Ferry Silviana Feronica sebagai calon Wali Kota Kediri di pilkada 2024 mulai menarik perhatian publik. Selain politik dinasti, isu pemanfaatan program pemerintah sebagai alat kampanye mulai dialamatkan kepadanya.
Sebagai istri mantan Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar, sosok Ferry Silviana Feronica atau Bunda Fey dinilai melanggengkan praktik politik dinasti. Hal yang sama pernah dilakukan mantan Bupati Kediri Sutrisno dan istrinya Haryanti, yang pernah berkuasa selama 20 tahun. Praktek politik dinasti pertama dan terlama yang menjadi inspirasi kepala daerah lainnya.
Diketahui Abdullah Abu Bakar menjabat sebagai Wakil Wali Kota Kediri sejak periode 2009 – 2014. Selanjutnya ia naik menjadi Wali Kota Kediri selama dua periode, yakni 2014 – 2019 dan 2019 – 2024. Di tahun 2023 Abu Bakar mengundurkan diri karena menjadi kontestan pemilu dan terpilih menjadi anggota DPRD Jawa Timur dari Partai Amanat Nasional.
Pengamat politik dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Musthofa mengatakan praktik politik dinasti telah menjadi tren bagi petahana. Selain di Kabupaten Kediri, praktik serupa juga terjadi di Banten oleh keluarga Atut Choisiah, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) dan Kabupaten Kolaka Timur.
“Politik dinasti ini menutup peluang calon kepala daerah yang memiliki potensi dan kapabilitas mumpuni untuk bersaing secara fair,” kata Mustofa kepada Bacaini.ID, Rabu, 14 Agustus 2024.
baca ini Ketua Umum Golkar Mundur Rekom Vinanda di Ujung Tanduk
Tidak bisa dipungkiri jika kepala daerah petahana akan mengerahkan seluruh kekuatan politiknya untuk memenangkan keluarganya. Termasuk menyeret birokrasi dan program pemerintah yang telah dijalankan. “Politik dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan untuk mempertahankan kekuasaanya,” tegas Musthofa.
Di lain sisi, majunya Bunda Fey untuk meneruskan atau melanggengkan kekuasaan suaminya tidak bisa diganjal. Hingga saat ini tidak ada satupun undang-undang yang melarang keluarga petahana mencalonkan diri di pilkada.
Musthofa menyebut satu-satunya norma yang mengganjal praktik politik dinasti adalah etika politik. Di sinilah etika kandidat dan parpol pengusungnya akan dipertaruhkan di depan masyarakat. “Jika kemudian dia terpilih, berarti masyarakat di daerah itu memiliki penilaian sendiri soal dinasti politik,” ungkap Musthofa.
Meski tidak diatur oleh undang-undang, Musthofa berharap partai politik tetap memperhatikan aspek kapasitas dan kredibilitas kandidat. Masyarakat juga dituntut bisa mengawasi potensi penyalahgunaan kekuasaan dan menciptakan persaingan secara sehat. “Parpol disini memiliki peran pengendali dan pengawas, justru jangan malah ikut-ikutan ketua parpol ikut-ikutan politik dinasti dengan menjadikan pasangan, anak, kerabat menjadi pengurus parpolnya yang lagi tren saat ini”, ujar Musthofa.
“Termasuk bagi pemilih agar memahami jika program pemerintah seperti bantuan yang pernah diterima bukan milik perseorangan atau keluarga paslon. Jadi jangan diklaim menjadi program pribadi, karena program itu milik pemerintah dan menggunakan dana negara atau pemerintah daerah” pungkasnya.
Penulis: Hari Tri Wasono
Editor : Danny Wibisono