Bacaini.ID, KEDIRI – Pada 27 Maret 1625, Charles I naik tahta Inggris memulai babak baru sejarah monarki yang berujung pada eksekusinya pada 30 Januari 1649.
Raja Charles I menjadi sejarah kepala seorang raja dipancung untuk pertama kalinya di Eropa, di depan mata rakyatnya sendiri.
Pada tahun 2025, saat dunia menyaksikan anniversary 400 tahunnya, kisah pemancungan kepala Charles I bukan sekadar dongeng sejarah, namun cermin relevan untuk krisis monarki modern.
Mulai drama suksesi Kerajaan Inggris hingga gelombang populisme di Amerika dan Eropa. Apalagi Kerajaan Inggris kini jadi sorotan publik dunia dengan sejumlah kontroversi.
Mulai pernikahan Raja Charles III dengan ‘gundik’-nya Camilla Parker, hengkangnya Pangeran Harry dan istrinya Meghan Markle dari kerajaan dengan isu rasial, hingga gebrakan putra mahkota Pangeran William yang merampingkan sistem kerajaan agar lebih efisien.
Charles I dan Awal Tragedi Monarki
Charles I naik tahta di tengah Inggris yang terpecah. Ia mewarisi kerajaan dengan konflik agama, Katolik vs Protestan, dan ketegangan dengan Parlemen, yang menuntut lebih banyak kuasa.
Dengan keyakinan kuat pada ‘Hak Ilahi Raja’ (Divine Right of Kings), Charles percaya ia ditunjuk Tuhan, sehingga menolak kompromi dengan Parlemen.
Kebijakannya, seperti pajak tanpa persetujuan dan penahanan tanpa pengadilan, memicu kemarahan.
Pada 1642, ketegangan memuncak menjadi Perang Saudara Inggris, mempertemukan Royalis (pendukung raja) melawan Parlementarian (dipimpin Oliver Cromwell).
Puncaknya, pada 1649, Charles dieksekusi di Whitehall, London, peristiwa yang mengguncang Eropa dimasanya.
Ini bukan sekedar pembunuhan seorang raja, namun menjadi simbol perlawanan terhadap otoritas absolut.
Inggris sempat menjadi republik di bawah Cromwell, sebelum monarki dipulihkan pada 1660. Namun, benih demokrasi konstitusional sudah tertanam.
Charles I menjadi raja Inggris pertama yang dieksekusi publik. Lukisan eksekusinya oleh pelukis seperti Anthony van Dyck menjadi ikon budaya politik.
‘Hak Ilahi Raja’ menjadi isu panas di Eropa pada masa itu, mirip debat tentang otoritarianisme vs demokrasi di masa kini.
Krisis Monarki di 2025: Dipertanyakan Relevansinya
Seperti yang sudah diketahui, kini di 2025, monarki masih jadi sorotan.
Di Inggris, isu suksesi Kerajaan Inggris mencuat, dengan spekulasi tentang kesehatan Raja Charles III dan peran Pangeran William.
Monarki modern, meski simbolis, dihadapkan pada pertanyaan: apakah institusi ini masih relevan di era demokrasi dan media sosial?.
Misalnya, di Inggris, monarki menghadapi kritik mengenai biaya (sekitar £86 juta per tahun untuk Royal Household, menurut laporan 2024) di tengah krisis ekonomi.
Monarki Inggris, meski dicintai, dipertanyakan relevansinya oleh generasi muda, seperti terlihat di polling YouGov 2024 (38% anak muda Inggris ingin monarki dihapus).
Warisan Charles I: Demokrasi Konstitusional
Eksekusi Charles I bukanlah akhir, namun menjadi awal transformasi. Perang Saudara Inggris melahirkan ide-ide kunci demokrasi modern: Magna Carta 2.0
Konflik Charles memaksa monarki Inggris menjadi konstitusional, dengan Parlemen sebagai penyeimbang kuasa.
Habeas Corpus: Penahanan sewenang-wenang Charles memicu undang-undang perlindungan individu, dasar HAM modern.
Pemisahan Kekuasaan: Ide bahwa raja bukan Tuhan menginspirasi revolusi di AS dan Prancis.
Charles I tewas karena gagal menyesuaikan diri dengan zaman. Di 2025, monarki modern, khususnya di Inggris, menghadapi tantangan serupa: adaptasi atau punah.
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari sejarah Charles I, kekuasaan harus dengar rakyat. Eksekusi Charles I mengajarkan bahwa kekuasaan absolut, tanpa kompromi, berujung kehancuran.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif