Suara telepon membangunkan tidurku pagi tadi. Hari masih gelap, pukul 04.30 WIB.
Suara lirih dan serak langsung kukenali di ujung telepon. “Assalamualaikum, engko arep budal kerjo mampiro. Enek jenang sengkolo,” kata ibuku.
Belum sempat kutanya kenapa membuat jenang sengkolo, telepon sudah ditutup. Begitulah kebiasaan ibuku jika bertelepon, singkat, padat, jelas.
Jam 11.00 WIB aku mampir ke rumah ibu. Jaraknya tak terlalu jauh. Aku di Perumahan Persada Sayang, ibuku di Kelurahan Sukorame. Meski beda kelurahan, jarak perumahanku dengan rumah ibu hanya 500 meter.
Seperti biasa aku langsung menuju dapur, tempat di mana ibu menghabiskan waktunya di rumah. Posisi dapur ibu memang strategis. Berhadapan dengan jendela kaca yang bisa melihat kandang ayam, kandang kelinci, kandang kucing, dan merpati putih. Jika ada makanan sisa tinggal lempar.
“Iki gowonen, mugo-mugo ndang sehat kabeh,” tukas ibu sambil menyodorkan empat piring berisi bubur merah dan putih. Meski bentuknya bubur, tapi ibu menyebutnya dengan jenang. Warnanya putih dan merah, ditumpuk menjadi dua lapis.
Warna merah (lebih tepatnya coklat) dibuat dari gula merah. Bahannya terdiri dari beras, beras ketan, santan, gula merah, gula pasir, air, dan garam. Cara membuatnya sama persis dengan memasak bubur.
Membuat jenang sengkolo sudah menjadi kebiasaan ibu sejak dulu. Karenanya sejak kecil aku sudah terbiasa memakan jenang ini.
Sesuai namanya, jenang sengkolo dibuat untuk menolak balak (musibah). Hari ini ibu membuat jenang sengkolo dengan harapan melindungi keluargaku dari penyakit. Beberapa hari terakhir anak-anakku terkena flu. Batuk pilek.
Cuaca memang tidak bersahabat belakangan ini. Sinar matahari nyaris tak muncul sejak pagi hingga sore. Suhu udara turun drastis diikuti angin kencang dan hujan. Jangankan anak-anak, orang dewasa pun banyak yang tumbang karena cuaca ini.
Ditambah lagi teror Omicron yang melengkapi ketakutan saat tiba-tiba terkena flu. Teror itu makin mencekam tatkala membaca berita di media sosial tentang gejala Omicron yang mirip dengan flu. Bersin Omicron, batuk Omicron, sendawa Omicron, pusing Omicron, demam Omicron, nyeri perut Omicron, diare Omicron, kaki pegel Omicron, badan capek Omicron. Begitu seterusnya.
Diagnosa gejala yang terus bertambah ini kadang membuatku gila. Jangan-jangan minyak goreng langka juga merupakan tanda-tanda Omicron.
Tak ingin terkena syndrome Omicron, aku menyaut salah satu piring jenang sengkolo dan menyantapnya. Kuhabiskan dulu bubur warna putih, sebelum menyisir bubur merah sebagai penutup.
Rasanya sama seperti bubur pada umumnya. Namun di dalamnya mengandung kekuatan doa dan penyerahan diri kepada Sang Khalik, untuk meminta perlindungan dari balak dan petaka. Jika batuk dan pilek ini sebagai balak, akan musnah oleh sepiring jenang sengkolo. Sebab tak ada obat yang paling manjur di dunia ini melainkan keyakinan. (Hari Tri Wasono*)
*)Penulis adalah jurnalis Bacaini.id