Bacaini.ID, KEDIRI – Organisasi kedaerahan yang lahir belakangan kerap menjadi biang kerok persoalan sosial. Tak sedikit pembentukan organisasi ini dilatarbelakangi penguasaan ekonomi dan identitas belaka.
Praktik yang dilakukan organisasi kedaerahan saat ini bak bumi dan langit dengan organisasi kedaerahan zaman dulu. Di tengah tekanan kolonial Belanda, kemunculan organisasi kedaerahan berperan besar dalam membangkitkan semangat persatuan dan perjuangan menuju kemerdekaan.
Organisasi-organisasi ini lahir dari kebutuhan kaum terdidik pribumi untuk memiliki wadah solidaritas, pendidikan, dan pelestarian budaya. Boedi Oetomo, yang berdiri pada 1908 di Batavia, menjadi tonggak pertama.
Didirikan oleh mahasiswa STOVIA, organisasi ini berfokus pada kemajuan bangsa Jawa melalui pendidikan, sekaligus menandai lahirnya era Kebangkitan Nasional.
Tak lama kemudian, Sarekat Islam (1912) muncul dari kalangan pedagang batik di Surakarta. Awalnya berbasis ekonomi, organisasi ini berkembang menjadi gerakan massa lintas daerah dan etnis, memperjuangkan hak-hak rakyat kecil serta melawan monopoli dagang kolonial.
Di tahun 1913, Paguyuban Pasundan berdiri sebagai wadah masyarakat Sunda. Selain melestarikan budaya, organisasi ini juga aktif dalam pendidikan dan sosial, memperkuat peran daerah dalam gerakan nasional.
Gelombang berikutnya datang dari kalangan pemuda. Jong Java (1917), Jong Sumatranen Bond (1918), hingga Jong Ambon, Jong Minahasa, dan Jong Celebes pada dekade 1920-an, menjadi bukti kuatnya ikatan kedaerahan. Meski berangkat dari identitas lokal, organisasi-organisasi ini perlahan melebur dalam semangat kebangsaan.
Puncaknya terjadi pada Kongres Pemuda II tahun 1928, ketika berbagai organisasi kedaerahan bersatu dan melahirkan Sumpah Pemuda. Tiga ikrar monumental; satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.
Dari Wadah Budaya ke Citra Premanisme
Organisasi kedaerahan yang dahulu dikenal sebagai wadah solidaritas, pendidikan, dan pelestarian budaya kini kerap dipandang berbeda. Di sejumlah daerah, keberadaan mereka justru diasosiasikan dengan praktik premanisme dan kekerasan.
Fenomena ini muncul seiring perubahan orientasi organisasi. Jika pada awal abad ke-20 organisasi kedaerahan seperti Boedi Oetomo atau Paguyuban Pasundan berperan dalam kebangkitan nasional, kini sebagian kelompok serupa lebih banyak bergerak di ranah ekonomi informal dan politik praktis.
Banyak organisasi kedaerahan kehilangan arah ideologis. Mereka lebih fokus pada akses ekonomi dan kekuasaan lokal. Kondisi ekonomi anggota yang terbatas membuat organisasi dijadikan sarana mencari penghasilan melalui jasa keamanan, parkir, hingga pungutan liar.
Selain faktor ekonomi, politik lokal juga berperan besar. Organisasi kedaerahan kerap dimanfaatkan oleh elit sebagai basis massa untuk mobilisasi demonstrasi atau bahkan intimidasi lawan politik. Ikatan solidaritas daerah yang semula menjadi perekat budaya berubah menjadi alat eksklusif yang membela anggotanya dengan cara keras.
Dampaknya, citra organisasi kedaerahan bergeser. Masyarakat kini lebih sering mengaitkan mereka dengan bentrokan antar kelompok, intimidasi, dan praktik kekerasan, ketimbang dengan pelestarian budaya. Lemahnya regulasi dan penegakan hukum memperkuat persepsi tersebut.
Meski demikian, sejumlah pihak menilai masih ada jalan keluar. Reorientasi budaya, pemberdayaan ekonomi sehat melalui koperasi atau UMKM, serta regulasi ketat dari pemerintah diyakini dapat mengembalikan organisasi kedaerahan ke fungsi awalnya, yakni sebagai wadah solidaritas, pendidikan, dan pelestarian budaya.
Penulis: Hari Tri Wasono





