Bacaini.ID, KEDIRI – Bakiak, alas kaki atau sandal kayu yang familiar di kehidupan masyarakat Jawa ternyata bukan sepenuhnya produk asli kebudayaan Jawa.
Bakiak merupakan hasil akulturasi budaya di masa lampau selama berabad-abad.
Sandal kayu yang secara internasional kerap disebut bakya itu telah ada sejak abad 2 SM, pada jaman Dinasti Han Kekaisaran Tiongkok.
Para perempuan bangsawan yang biasa memakainya. Ada versi yang menyebut mereka terinspirasi kebiasaan Geisha di Jepang yang selalu memaki bakiak sebagai alas kaki.
Geisha merupakan wanita penghibur kelas elit masyarakat Jepang. Hanya saja catatan sejarah mengenai bakiak Jepang sangat terbatas.
Sumber yang banyak diketahui, bakiak lebih dikenal setelah para pedagang Tiongkok masuk ke berbagai negara termasuk Nusantara.
Sandal kayu perempuan Tiongkok ini disebut Mu-ju, yang dalam dialek Hokkian menjadi Bak-kia.
Bakia lantas berganti penyebutan ‘bakiak’ dalam bahasa Jawa. Di Jawa Timur penduduknya lebih mengenal penyebutan ‘bangkiak’.
Masyarakat Melayu menyebutnya ‘terompah’. Sementara masyarakat Sunda ‘keletek’.
Sebutan lain untuk sandal kayu ini, teklek, klompen, terutama masyarakat di kawasan Tapal Kuda Jawa Timur.
Pada awalnya bakiak adalah ‘sandal cantik’ yang dipakai para nyonya dan nona bangsawan Tiongkok. Sandal kayu berhias warna-warna cantik dengan lukisan bunga.
Di Indonesia, pemakaian kayu sebagai alas kaki kemudian berkembang dan menyesuaikan kondisi masyarakat setempat.
Bakiak dibuat sederhana dengan kayu ringan sebagai alas, ditambahkan lembaran karet bekas ban yang dipaku di kedua sisi sebagai pengikat telapak kaki.
Bakiak menjadi populer terutama di Jawa, dan lazim digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat.
Bahkan menjadi ciri khas santri, yang diketahui kerap memakai bakiak sebagai alas kaki bukan hanya karena harganya lebih murah.
Namun juga karena dianggap lebih bisa menjauhkan najis yang kemungkinan datang dari tanah yang diinjak, terutama saat bersuci.
Hal ini dikarenakan bakiak yang terbuat dari kayu, lebih tebal dari sandal biasa.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif