Bacaini.id, KEDIRI – Partai Komunis Indonesia (PKI) di wilayah Karesidenan Kediri dalam sejarahnya pernah memiliki konstituen terbesar. Hal itu yang membuat suhu politik di Kediri jelang peristiwa G30S PKI atau Gerakan 30 September 1965, terus memanas.
Pada Pemilu 1955 perolehan suara PKI di Kediri berhasil mengungguli suara yang diraup PNI, NU, Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia).
Dilansir dari catatan peneliti asing Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (1999), perolehan suara PKI di wilayah Karesidenan Kediri mencapai 457.000 suara.
Tepat di bawah PKI, PNI meraup dukungan sebanyak 455.000 suara dan NU sebanyak 366.000 suara. Sedangkan Masyumi menduduki urutan ke empat dengan perolehan 155.000 suara.
Keberhasilan PKI merebut hati rakyat, khususnya di wilayah Kediri tidak lepas dari branding semboyan partai yang didengungkan jurkam partai selama berlangsungnya kampanye Pemilu 1955.
Kepada rival-rival politiknya, PKI melakukan muslihat politik pengkotak-kotakan. PKI menyebut PNI sebagai partai priyayi, yakni karena sebagian besar konstituen PNI adalah para pegawai birokrat.
Kemudian melabeli NU dan Masyumi sebagai partai santri, yaitu dengan dalih banyak tokoh-tokohnya yang berlatar belakang ulama, kiai pengasuh pondok pesantren, terutama NU.
Sementara PKI menyebut diri sebagai partai rakyat. “PNI partai priyayi, Masyumi dan NU partai santri, tetapi PKI partai rakyat,” demikian dikutip dari buku Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.
Dengan perolehan suara pemilu yang terbesar, PKI di Kediri lebih leluasa sekaligus lebih berani melakukan manuver politik, yakni terutama dalam melaksanakan kebijakan politik landreform.
Jelang peristiwa G30S PKI, aksi sepihak merebut tanah oleh orang-orang BTI dan Pemuda Rakyat di Kediri terjadi di mana-mana. Suhu politik di Kediri pun sontak meninggi.
Gesekan antara massa PKI dengan massa Ansor NU Kediri, tidak terelakkan. Sebab tidak sedikit tanah yang diklaim sepihak oleh orang-orang PKI merupakan tanah milik para kiai. Banyak tanah di Kediri milik pengurus NU, PNI dan Masyumi.
Dilansir dari buku Benturan NU-PKI 1948-1965 (2013), besarnya nyali orang-orang BTI dan Pemuda Rakyat melancarkan aksi sepihak dipengaruhi adanya tokoh PKI yang berada di kementerian.
“Semangat PKI BTI dalam melakukan landreform ini semakin berkobar setelah salah seorang pimpinan PKI yaitu Njoto diangkat sebagai Menteri Urusan Landreform”.
Pertarungan terbuka antara orang-orang PKI dengan Ansor NU Kediri jelang peristiwa G30S PKI, didengar oleh pemerintah pusat. Perlawanan orang-orang Ansor NU terhadap aksi sepihak orang-orang PKI di Kediri dilaporkan DN Aidit ke Presiden Soekarno.
Ansor NU Kediri dituding Aidit telah menghalangi pelaksanaan program pusat (landreform). Di hadapan Bung Karno yang menanyakan persoalan di Kediri, Ketua PBNU KH Idham Chalid menjelaskan semuanya.
Sebagai pimpinan NU, ia memperlihatkan sikap tegasnya. Sampai kapan pun Ansor NU bersama rakyat akan mempertahankan haknya yang coba direbut orang-orang PKI. Kiai Idham Chalid juga menegaskan tidak akan menghalangi langkah Ansor NU Kediri.
“Kalau Ansor ditampar oleh BTI maka haram hukumnya bagi saya untuk melarang membalasnya,” tegas Kiai Idham Chalid.
Demikian situasi politik di Kediri menjelang meletusnya peristiwa G30S PKI. Yakni sebuah wilayah eks karesidenan di Jawa Timur yang pada Pemilu 1955 pernah menjadi kantong suara terbesar PKI. Pada 12 Maret 1966, PKI resmi dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang.
Penulis: Solichan Arif