Bacaini.ID, KEDIRI – Sedikitnya 242 santri dari 84 pondok pesantren di wilayah Jawa – Madura berkumpul di Ponpes Al Falah Ploso, Mojo, Kediri. Mereka membahas dinamika masyarakat dalam tinjauan hukum Islam, mulai penjarahan rumah anggota DPR hingga hukum mandi giliran di pondok.
Ratusan delegasi dari berbagai pondok pesantren ini berdiskusi dalam Forum Bahtsul Masail Kubro. Ini adalah forum atau sarana bagi para santri belajar berdiskusi, saling bertukar pikiran dan belajar memecahkan suatu masalah dalam bidang Nahwu, Shorof dan Fiqih.
Forum Bahtsul Masail Kubro ke-25 ini dilakukan di Pondok Pesantren Al Falah Ploso selama dua hari, yakni 19–20 November 2025. Beberapa pondok yang ikut berasal dari Kediri, Jombang, Pasuruan, Banyuwangi, Rembang, hingga Madura.
Para delegasi terbagi dalam Komisi A dan Komisi B, yang masing-masing mengupas tujuh persoalan aktual. Pembahasan dilakukan melalui prosedur bahtsul masail yang ketat, mulai dari identifikasi masalah, analisis dalil, qoul ulama, hingga istinbath hukum.
Komisi A membahas isu strategis seperti RUU Perampasan Aset, Pemotongan Gaji, Kesehatan Mental dalam Ancaman, Abolisi sebagai Hak Prerogatif Presiden, Pro-Kontra Giliran Mandi di Pesantren, Hukum Adat Penyelesaian Kasus Zina melalui Sanksi Sembelihan, hingga Fenomena Menjarah Rumah DPR. Seluruh persoalan dibahas dengan merujuk pada fiqh jinayah, siyasah syar’iyyah, dan kaidah ushuliyyah yang relevan.
Sementara Komisi B mengkaji persoalan seperti Polemik DAM Indonesia, Polemik Tukar Kado, Zakat Fitrah Menggunakan Uang, Kontroversi Maskot STQH, Laki-Laki Tidak Bercerita dalam Perspektif Psikologi dan Syariat, Kontroversi Tunjangan Anggota DPR RI, serta Wakaf Konservasi. Beragam isu tersebut menjadi sorotan karena keterkaitannya dengan dinamika sosial dan kebijakan publik.
Pengasuh Pondok Pesantren Al Falah Ploso, KH Iffatul Lathoif menyampaikan, keberlangsungan Bahtsul Masail merupakan bukti bahwa pesantren tetap menjadi ruang dialektika ilmiah yang relevan terhadap perkembangan zaman.
“Bahtsul Masail bukan sekadar tradisi ilmiah pesantren, tetapi bentuk kontribusi nyata kami dalam memberikan panduan hukum Islam atas problem bangsa. Ketika masyarakat dihadapkan pada isu-isu yang kompleks, pesantren wajib memberikan arah pemikiran yang bertanggung jawab,” ujarnya.
Menurut KH Iffatul Lathoif, kehadiran ratusan delegasi dari berbagai daerah membuktikan bahwa pesantren tidak hanya menjaga khazanah keilmuan klasik, tetapi juga aktif mengkontekstualisasikannya.
“Kami ingin menunjukkan bahwa santri dan ulama pesantren tidak pernah meninggalkan persoalan publik. Mereka hadir dengan analisis yang mendalam, moderat, dan dapat dipertanggungjawabkan,” tambahnya.
Di dalam forum, sidang-sidang berjalan tertib dan sistematis. Setiap delegasi diberi kesempatan menyampaikan pandangan, mengutip literatur, serta mengajukan argumentasi hukum. Dari santri tingkat khos sampai masyayikh senior turut terlibat dalam proses perumusan keputusan. Atmosfer musyawarah tampak serius, terlebih ketika isu politik seperti RUU Perampasan Aset dan hak prerogatif presiden menjadi pembahasan utama.
Rangkaian kegiatan ditutup pada Kamis malam (20/11) dengan pembacaan hasil keputusan dari masing-masing komisi. Keputusan tersebut dirumuskan secara kolektif dan akan menjadi rujukan bagi pesantren peserta maupun masyarakat yang membutuhkan jawaban hukum atas persoalan kontemporer.
Seluruh hasil musyawarah secara resmi akan didokumentasikan dan disosialisasikan kepada pesantren-pesantren di bawah jaringan Bahtsul Masail se-Jawa Madura.
Penulis: AK Jatmiko
Editor: Hari Tri Wasono





