Ia bukan tokoh revolusioner yang gemar berpidato, bukan pula pemimpin yang mencari popularitas. Namun, tanpa Oerip, fondasi Tentara Nasional Indonesia mungkin tak pernah berdiri setegak hari ini.
Dalam sejarah militer Indonesia, nama Jenderal TNI (Anumerta) Raden Oerip Soemohardjo kerap hadir sebagai sosok di balik para panglima perang.
Lahir pada 22 Februari 1893 di Purworejo, Jawa Tengah, Oerip berasal dari keluarga priyayi yang menjunjung tinggi pendidikan dan etika. Ia menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) dan melanjutkan ke Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda, Belanda. Sebuah pencapaian luar biasa bagi seorang pribumi di era kolonial.
Selama lebih dari dua dekade, Oerip mengabdi sebagai perwira dalam Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL). Ia dikenal sebagai sosok disiplin, cermat, dan tidak kompromi terhadap pelanggaran etika militer.
Namun, di tengah karier yang mapan, Oerip memilih pensiun dini dan menetap di Yogyakarta, jauh dari hiruk-pikuk militer kolonial.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Oerip yang telah berusia 52 tahun kembali ke medan perjuangan. Ia diangkat sebagai Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan sempat menjabat sebagai Panglima Tertinggi, sebelum menyerahkan posisi tersebut kepada Jenderal Sudirman, yang jauh lebih muda dan belum berpengalaman secara formal.
Alih-alih merasa tersisih, Oerip mendukung penuh kepemimpinan Sudirman. Ia menjadi mentor, penyeimbang, dan pengawal disiplin dalam tubuh tentara yang masih rapuh. Di tengah euforia revolusi, Oerip menegakkan prinsip bahwa militer harus netral dari politik dan tunduk pada konstitusi.
“Saya tidak mencari pangkat. Saya hanya ingin tentara ini berdiri tegak,” ucapnya.
Tahun-tahun awal kemerdekaan adalah masa penuh gejolak. Tentara belum memiliki struktur yang jelas, banyak laskar rakyat beroperasi secara mandiri, dan konflik internal antara sipil dan militer mulai mengemuka. Di tengah situasi ini, Oerip menjadi figur yang menanamkan disiplin, prosedur, dan etika militer
Ia menyusun sistem komando, merancang pembagian wilayah pertahanan, dan menegakkan aturan rekrutmen. Meski sering dianggap “terlalu Belanda” oleh sebagian kalangan revolusioner, Oerip tetap teguh pada prinsip profesionalisme.
Oerip wafat pada 17 November 1948, hanya beberapa bulan sebelum Agresi Militer Belanda II. Ia tidak sempat menyaksikan pengakuan kedaulatan Indonesia secara penuh, namun warisannya hidup dalam struktur dan semangat TNI.
Ia dianugerahi gelar Jenderal TNI (Anumerta) dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Dalam sejarah resmi, Oerip dikenang sebagai “arsitek militer republik”, sosok yang membangun dari sunyi, dengan disiplin sebagai pondasi.
Penulis: Hari Tri Wasono