Bacaini.ID-Kediri. Indonesia telah memiliki 8 (delapan) presiden sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hingga tahun 2025, menurut data BP Taksin tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi, 26,03%. Dengan distribusi, 5,68% penduduk perkotaan tergolong miskin dan 34,49% penduduk pedesaan tergolong miskin. Sedangkan pada tahun 2023, angka stunting di Indonesia tercatat 21.5% dan pemerintah berupaya menurunkan angka ini menjadi tinggal 5% pada tahun 2045. Salah satunya dengan memberikan program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk memerangi malnutrisi dengan sasaran anak-anak, ibu hamil dan menyusui, meskipun dengan anggaran minim Rp 10.000,00/porsi dan hanya diberikan sekali sehari, hanya untuk makan siang.
Rupanya ide, memberikan makan gratis ini harus menunggu presiden ke-8 untuk mewujudkanya, itupun banyak cemoohan, hujatan dan menganggap program ini tidak berdampak signifikan. Yang menghujat dan mencemooh tidak tanggung-tanggung, dari muali politikus, civitas akademis, jurnalis, dan masyarakat umum yang tidak menyadari sangat berharganya makan siang Rp 10 ribu ini bagi mereka yang belum tentu setiap hari dapat makan dengan lauk telor, dengan lauk ayam/daging. Mungkin bagi warga miskin, makan dengan lauk layak telor, ayam belum tentu bisa dilakukan setiap minggu. Masyarakat desa dengan budaya dan adatnya sering menerima makanan kenduri (selamatan), masih bisa mendapatkan makanan bergizi meski hanya pada bulan-bulan tertentu ada selamatan, kenduri atau acara pengajian Yasinan setiap malam jumat dari para tetangga.
Jika kita tengok dan bandingkan dengan negara lain, Indonesia dapat disebut terlambat, harus menunggu presiden ke-8, baru akan mengimplementasikan makan bergizi gratis. Makan bergizi dengan Rp 10 ribu, yang dimakan langsung oleh anak-anak sekolah jauh dari kata penyalahgunaan. Berbeda dengan bantuan tunai langsung, terkadang uang tidak dibelanjakan kebutuhan pokok, justru dipakai buat beli pulsa, kebutuhan sekunder lainnya, malah lebih ironis lagi dipakai untuk judi online.
Amerika Serikat dimulai dengan pembentukan National School Lunch Program (NSLP) pada tahun 1946 oleh Presiden Harry S. Truman. Sejak saat itu, program ini terus berkembang dan mendapatkan dukungan federal untuk menyediakan makanan bergizi bagi siswa. Pada tahun 1966, Child Nutrition Act memperkenalkan Program Sarapan Sekolah yang kemudian dibuat permanen pada tahun 1975.
Berbeda dengan negara Jerman, makan bergizi hanya untuk anak-anak yang hidup dalam kemiskinan, bukan semua murid sekolah. Baru pada Januari 2024, sebuah dewan warga Jerman mengusulkan program makan siang gratis secara nasional untuk anak-anak pra sekolah dan pelajar. Usulan ini mengharuskan pembagian biaya antara pemerintah negara bagian dan pemerintah lokal (pemerindah daerah). Negara-negara lain di Uni Eropa yang menerapkan kebijakan makan gratis ini seperti Finlandia, Swedia dan Estonia bagi semua murid.
Sedangkan Jerman, Hungaria, Portugal hanya diberikan kepada keluarga dengan pendapatan rendah atau makanan bersubsidi atau parsial seperti di Austria dan Perancis. Sedankan Denmark dan Belanda tidak menyediakan makanan sekolah gratis. Sekitar 25% anak-anak di Uni Eropa berisiko menghadapi kemiskinan atau pengucilan sosial. Kebijakan makan gratis di sekolah bertujuan untuk membantu menurunkan risiko ini dengan memastikan bahwa semua anak mendapatkan nutrisi yang cukup dan memadai.
Pantauan Bacaini.ID warga kurang mampu di desa mengharapkan makan bergizi dari tetangga yang setiap malam jumat menyelenggarakan pengajian atau yasinan. Meski menunya sederhana seperti sayur tahu dan telor, terkadang rawon, soto ayam. Selain itu pada musim bulan selamatan atau jika ada tahlilan. Selamat ini biasanya bagi warga mampu yang membuat selamatan hari kelahiran, kirim doa. Sedangkan selamatan lain hanya pada bulan-bulan tertentu. Wagiyo menyampaikan hal lain kepada Bacaini.ID, makan enak, akan lebih sering kalau pada saat musim kampanye partai politik, caleg, kampanye bupati, kampanye pemilihan kepala desa. Mereka sering kali membagikan makanan selain juga bingkisan seperti sarung, sajadah dan terkadang amplop. “Kalau tidak musim kampanye, ya jarang”, ujar Wagiyo. Seraya menambahkan karena tidak punya penghasilan tetap dan tidak memiliki sawah yang luas, ya makan terkadag jika tidak punya duit, seadanya dari kebun belakang rumah atau sawah kecil yang saya tanamin ubi dan jagung. Atau terkadang “nempil” atau “meminta” dari tetangga.
Ironi jika membandingkan kondisi masyarakat desa yang kurang mampu, belum tentu sehari sekali bahkan seminggu sekali bisa makan daging, lauk ayam atau telor sedangkan disisi lain dana sekolah dikorupsi, koruptor pamer makan mewah, anak mantan pejabat makan resto Jepang puluhan juta, para pejabat mengajukan mobil dinas mewah, dan sering ganti mobil baru, pengadaan barang/jasa pemerintah yang tidak penting dan berulang-ulang, pegawai negara makan mewah setiap hari dari dana operasional bulanan, rapat di hotel mewah dan makan enak. Para pejabat dan stafnya sering makan mewah ditraktir vendor, menggunakan uang operasional dengan memilih restoran mahal dan mewah.
Perilaku tidak terpuji dan tidak adanya empati warga dan pejabat tersebut kalah dengan warga masyarakat yang masih dermawan membagikan makanan bergizi setiap jumat di masjid-masjid, dijalan-jalan meskipun tidak setiap hari dan warga desa menyelenggarakan selamatan atau pengajian yasinan dan membagikan makanan pagi tetangga setiap jumat. Budaya lokal di desa inilah yang justru sering menjadi penyelamat saat situasi ekonomi atau ada pandemi dapat membantu satu dengan yang lain, berbeda dengan masyarakat perkotaan yang sudah hidup sangat individual.
Banyak pihak menghujat, uang Rp 10 ribu dapat lauk apa? Tanpa berpikir bagi kalangan warga kurang mampu, anaknya setiap hari dapat makan bergizi meskipun hanya tahu, tempe, telor, ayam suwir atau daging suwir atau ayam atau daging sepotong dan buah adalah sebuah anugerah luar biasa meski hanya sehari sekali. Terkadang tanpa uang jajan ke sekolah, hanya bekal nasi dan ikan asin atau bahkan ubi rebus untuk sarapan pagi sebelum berangkat sekolah. Mungkin jika program ini dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya, bisa jadi rata-rata IQ (tingkat kecerdasan) masyarakat Indonesia lebih tinggi dan angka gizi buruk juga menjadi lebih rendah.
Penulis : Danny Wibisono
Editor : AK Jatmiko