Paham komunis, yang membagi kelas dalam negara seperti paham induknya Marxisme, yaitu kelas proletar dan borjuis, menjadi favorit bagi masyarakat setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya.
Setelah perang dunia kedua dan era perang dingin, kondisi politik dan ekonomi seluruh negara termasuk Indonesia belum stabil. Kasus kemiskinan, kelaparan, dan kurang gizi merajalela.
Di sinilah paham komunis yang berpihak kepada rakyat kecil, seperti buruh dan petani menjadi idola. Partai Komunis Indonesia (PKI) diyakini bisa memperjuangkan nasib rakyat kecil dan golongan bawah.
Kondisi ekonomi yang tidak stabil, munculnya banyak pemberontakan setelah kemerdekaan, serta mahalnya harga pokok membuat popularitas PKI meroket. Dalam waktu singkat PKI menjadi partai lima terbesar di Indonesia.
Hal ini didukung kebijakan Presiden Soekarno yang dianggap memfasilitasi keberadaan komunis dengan keluarnya ajaran Manipol (Manifestasi Politik), Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) dan Resopim (Revolusi, Sosialisme Indonesia dan Pimpinan Nasional).
Nasakom merupakan cerminan paham berbagai golongan dalam masyarakat. Presiden Soekarno percaya bahwa dengan menerima dan melaksanakan Nasakom maka persatuan Indonesia akan terwujud. Ajaran Nasakom mulai disebarluaskan pada masyarakat.
Upaya menyebarluaskan Nasakom itu dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan bahwa PKI merupakan barisan terdepan pembela Nasakom. Keterlibatan PKI tersebut menyebabkan ajaran Nasakom menjadi menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menggeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis.
Jika Nasakom ditujukan untuk menggalang persatuan bangsa, maka ajaran Resopim ditujukan untuk memperkuat kedudukan Presiden Soekarno. Inti dari ajaran Resopim adalah seluruh unsur kehidupan berbangsa dan bernegara harus dicapai melalui revolusi, dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan nasional yang disebut Panglima Besar Revolusi (PBR), yaitu Presiden Soekarno.
Politik konfrontasi yang dilancarkan Presiden Soekarno ini makin memperkuat kedudukan PKI. Di tengah keraguan terhadap Angkatan Darat (AD) untuk mendukung sepenuhnya Dwikora, PKI tampil ke depan menggelorakan kampanye Ganyang Malaysia.
Peran PKI dalam peta politik Soekarno makin kuat. PKI menjadi andalan presiden untuk membina hubungan dengan negara-negara komunis dan menggalang politik poros, seperti dibentuknya Poros Jakarta-Peking, Poros Jakarta-Moskow.
Kekuatan PKI makin tak terbendung ketika Pemilu 1955 menghasilkan empat partai besar yang berhasil memperoleh suara terbanyak. Mereka adalah PNI (Partai Nasional Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama), Masyumi, dan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Masuknya PKI sebagai empat partai besar yang berhasil meraih suara terbanyak menunjukkan eksistensi partai tersebut. Diketahui, PKI memperoleh suara untuk DPR sebesar 6.179.914 suara. Sementara untuk Konstituante, PKI mendapat suara 6.232.512 suara.
Perolehan suara PKI pada Pemilu 1955 tentu menjadi kejutan. Sebab PKI sempat terpukul serta berantakan usai Peristiwa Madiun 1948.
Salah satu strategi kampanye yang digunakan PKI untuk memperoleh suara adalah mencantumkan orang tidak berpartai (calon perorangan) ke dalam tanda gambar palu arit PKI. Strategi ini sontak ditentang oleh beberapa partai. Seperti Dewan Cabang Masyumi Majalengka yang mengadakan rapat dengan menghasilkan masukan kepada pihak berwenang guna meninjau tanda gambar palu arit PKI, serta menghapus kalimat orang yang tidak berpartai.
Ketika partai lain seakan-akan kehilangan daya, PKI justru melejit. Dibandingkan dengan partai lain, kampanye PKI paling efektif.
Pergerakan partai kala itu memaksimalkan kampanye di daerah di mana mereka mendapat hasil bagus saat Pemilu 1955. Seperti Masyumi yang fokus menggarap Jakarta dan Jawa Barat, NU di Jawa Timur, dan PNI di hampir seluruh Jawa (meski dengan kampanye yang serampangan).
Seperti yang ditengarai Daniel S. Lev dalam The Transition to Guided Democracy (2009), ketika pimpinan-pimpinan nasional dari partai-partai itu berkonsentrasi pada politik Jakarta, PKI justru bekerja giat di desa-desa dan kota-kota di seluruh negeri (Lev, hlm. 107).
Itulah kunci sukses PKI di Pemilu 1955 yang dibawa lagi pada 1957. Selain PKI juga merupakan organisasi yang bagus dan kekuatan finansial. Citra PKI juga kian mentereng karena tidak terkait dengan segala kegagalan dan korupsi partai pemerintah.
Karenanya PKI di masa itu menjadi sebuah kekuatan politik yang besar dan tidak dapat diremehkan. Partai ini menjadi garda terdepan dalam mendukung program dan kebijakan Presiden Soekarno saat itu. Satu-satunya kekuatan yang bisa menandingi PKI hanyalah TNI Angkatan Darat.
Peristiwa di atas patut menjadi renungan bagi pelaku politik saat ini. Jika para wakil rakyat di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kota/kabupaten masih sibuk melayani ketua partai dan melupakan konstituen yang mereka wakili, bersiap-siaplah untuk kehilangan kursi di parlemen pada Pemilu 2024 mendatang.
Penulis: Danny K Wibisono*
*)Mahasiswa Ilmu Politik IISIP