Bacaini.ID, KEDIRI – Usulan Presiden Prabowo Subianto untuk mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah kepada DPRD menuai penolakan dari akademisi. Hal itu justru akan menciptakan dan melanggengkan oligarki politik.
Pengamat politik dan penggiat pemilu Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Jarot Hermansyah mengatakan pemilihan kepala daerah secara langsung dipilih untuk menghindari praktik oligarki politik.
“DPRD cenderung terikat pada kepentingan partai politik atau kelompok elit tertentu, yang sering kali lebih mengutamakan agenda pribadi atau kelompok daripada kepentingan masyarakat luas,” terang Jarot kepada Bacaini.ID, Minggu, 15 Desember 2024.
Praktik jual beli suara juga akan terjadi di antara anggota DPRD, yang akan merusak integritas demokrasi. Dengan pemilihan langsung, menurut Jarot, setidaknya menutup peluang itu secara signifikan.
Pemilihan langsung juga memberikan kendali kepada rakyat untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan aspirasi mereka, tanpa perantara kepentingan politik. Partisipasi masyarakat juga tinggi untuk menentukan pemimpin mereka, sehingga memperkuat rasa kepemilikan masyarakat terhadap pemerintahan daerah, serta menjalankan proses pengawasan.
Biaya Politik Besar
Pemilihan kepala daerah secara langsung sering kali memerlukan biaya politik yang sangat besar, baik untuk kampanye, mobilisasi pemilih, maupun biaya lainnya yang cenderung informal.
Biaya tinggi ini dapat menciptakan pola korupsi, baik selama proses pemilihan maupun setelah terpilih. “Namun mengembalikan pemilihan ke DPRD, merupakan kemunduran demokrasi, dan pilihan buruk,” tegas Jarot.
Untuk mengurangi dampak biaya politik yang tinggi dan potensi korupsi, ia mengusulkan beberapa langkah. Di antaranya penguatan sistem pembiayaan negara dengan memberikan subsidi kampanye oleh negara (dengan syarat transparansi dalam laporan keuangan kampanye).
Kedua, perlu ada regulasi dan pengawasan ketat terhadap sumber dana kampanye, termasuk audit independen untuk memastikan tidak ada aliran dana ilegal kepada kandidat.
Ketiga, memberikan pendidikan politik berkelanjutan untuk mengubah pola pikir rakyat agar memilih berdasarkan kualitas, bukan insentif finansial. “Terakhir adalah penerapan sanksi tegas kepada partai politik atau kandidat yang terbukti terlibat dalam politik uang atau pelanggaran dana kampanye, termasuk diskualifikasi dari pemilu,” tutup Jarot.
Kepercayaan Kepada Parpol Lemah
Pemilihan kepala daerah melalui lembaga DPRD juga dinilai kurang mendapat legitimasi masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kepercayaan masyarakat kepada partai politik yang ada.
Hal itu diungkapkan pengamat politik Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri, Agus Edi Winarto, yang menyebut usulan mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD bukanlah solusi yang tepat. “Ini soal legitimasi dimana walikota atau bupati harus dipilih langsung oleh masyarakat,” kata Agus Edi yang juga mantan Komisioner KPU Kabupaten Kediri kepada Bacaini.ID.
Agus Edi menambahkan, usulan mengembalikan pilkada kepada legislatif atau dikenal dengan pemilihan tidak langsung pernah muncul di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Namun karena kerasnya penolakan dari masyarakat, akhirnya dibatalkan,” terangnya.
Sependapat dengan Jarot, upaya yang harus dilakukan untuk memperbaiki sistem pilkada adalah melakukan pendidikan politik yang benar. Sehingga perlahan-lahan praktik politik uang di masyarakat bisa diminimalisir.
Penulis: Hari Tri Wasono