Bacaini.id, KEDIRI – Suhu udara diprediksi naik 1,5 derajat celcius pada tahun 2030 akibat perubahan iklim. Kondisi ini dikhawatirkan akan memicu bencana hidrometeorologi yang belum banyak diketahui masyarakat.
Prakirawan Meteorologi dan Geofisika (PMG) Muda BMKG Klimatologi Malang, Meilani mengatakan perubahan iklim terjadi secara langsung maupun sebagai dampak aktivitas manusia dan alam. “Namun yang dominan karena ulah manusia. Seperti peternakan yang menghasilkan gas metan, asap pabrik serta penggundulan hutan yang mencapai sepertiga dari permukaan bumi,” kata Meilani dalam webinar bertema Menangkal Misinformasi Perubahan Iklim dan Bencana Hidrometeorologi, yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri bersama Google News Initiative, Kamis, 21 April 2022.
Fungsi hutan sendiri adalah menyerap karbon dioksida agar tidak terperangkap atmosfer, sebagai pengatur siklus air, mengurangi resiko banjir, serta mencegah longsor. Kondisi ini, menurut Meilani, mengakibatkan terjadinya gas rumah kaca yang berdampak pada perubahan energi atmosfer. Sehingga memicu pemanasan global yang mempengaruhi perubahan siklus air dan terjadilah perubahan iklim.
Kenaikan suhu rata-rata udara di dekat permukaan bumi dan lautan sudah terjadi sejak pertengahan abad ke-19 dan akan terus berlangsung. Berdasarkan laporan kajian IPCC tahun 2007, suhu permukaan global meningkat sebesar 0,32 – 0,74 °C selama abad ke-20.
Diana Dewi, Co-Founder Masyarakat Tangguh Indonesia (MTI) menyebut hasil penelitian International Public Opinion on Climate Change menunjukkan 78 persen warga Indonesia mengakui adanya perubahan iklim.
baca ini Gadis Berlumur Darah di Tengah Hujan
Dia mengajak setiap individu dan kelompok untuk selalu membicarakan isu perubahan iklim sebagai persoalan bersama. Hal ini bisa dimulai dengan bercakap-cakap tentang keberhasilan masyarakat yang beradaptasi dengan perubahan iklim. Serta menjadi contoh gerakan menyadarkan masyarakat tentang hubungan perubahan iklim dan perilaku.
“Saya sudah beberapa tahun tidak menggunakan plastik atau kresek lagi kalau ke pasar, jadi lama-lama pedagang hafal dengan kita. Sambil menunggu perda tentang penggunaan sampah plastik,” terangnya.
Untuk mengkampanyekan isu tersebut, butuh peran media yang memiliki kemampuan menyampaikan informasi secara luas. “Pemberitaan terhadap iklim diharapkan bisa menjadi edukasi untuk publik, seperti kelompok masyarakat petani dan nelayan. Sehingga mereka dapat beradaptasi dan bahkan memprediksi iklim yang akan terjadi,” kata jurnalis LKBN Antara Destyan Sujarwoko.
baca ini Or Saor Tradisi Pemuda Bangkalan Bangunkan Sahur
Menurutnya, persepsi media saat ini cenderung menjadikan berita bencana hidrometeorologi sebagai headline. Namun hanya sedikit yang menyandingkan dengan isu perubahan iklim, sehingga seolah-olah peristiwa tersebut terjadi akibat musim yang berubah.
“Setiap orang perlu mengetahui lebih banyak tentang perubahan iklim. Cara media meliputnya akan mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam menghadapi masalah tersebut,” pungkasnya.
Webinar tersebut juga menghadirkan Sudarmanto, Sekjen Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) Jatim. Menurutnya, ada empat aspek penting untuk mengantisipasi bencana, antara lain; komunikasi, informasi, kerja sama, dan koordinasi. “Empat aspek ini merupakan kunci sukses penanganan bencana terutama untuk penanganan korban dan meghindari resiko lebih lanjut,” katanya.
Penulis: HTW
Tonton video: