Bacaini.ID, JAKARTA -Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) menyatakan sikap kritis terhadap arah kebijakan iklim nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 110 Tahun 2025 tentang Instrumen Nilai Ekonomi Karbon.
Dalam pembekalan media yang digelar di Jakarta, 17 November 2025, KPSHK menegaskan bahwa Perhutanan Sosial (PS) tidak boleh dibebani target penurunan emisi, melainkan harus menjadi ruang kesejahteraan masyarakat penjaga hutan.
“Tujuan utama PS adalah menyejahterakan masyarakat dengan menjaga hutan. Jika dibebani target NDC, masyarakat bisa makin terpinggirkan,” ujar Muhammad Djauhari, Direktur KPSHK.
Diskusi tersebut menghadirkan sejumlah tokoh penting, termasuk Fajri Nailus Subchi dari Sampan Kalimantan, Muhammad Diheim Biru dari Wildlife Works Indonesia (WWI), dan Titik Kartitiani, editor kebijakan KPSHK. Mereka sepakat bahwa masyarakat pemegang izin PS harus menjadi aktor utama dalam perdagangan karbon, bukan sekadar objek kebijakan.

Potensi Ekonomi Karbon yang Besar, Tapi Belum Inklusif
Mengutip data Kementerian Kehutanan, luas PS per Oktober 2025 mencapai 8,1 juta hektare, dengan potensi nilai ekonomi karbon sebesar Rp 1,6–3,2 triliun per tahun dan bisa mencapai Rp 258 triliun pada 2034. ROI PS diperkirakan 15–30%, setara dengan sektor ritel dan jasa.
Namun, Djauhari mengingatkan bahwa daya tawar masyarakat masih lemah. Di Kalimantan Tengah, KPSHK mendampingi empat wilayah Hutan Desa yang mulai dikelilingi izin konsesi perusahaan. “Masyarakat belum punya modal dan kapasitas untuk bersaing di pasar karbon,” ujarnya.
Tata Kelola Desa Jadi Kunci Integritas Pasar Karbon
Muhammad Diheim Biru dari WWI menekankan pentingnya tata kelola desa dalam menjaga integritas pasar karbon Indonesia. WWI sebagai pengembang karbon global telah membuktikan bahwa dana perdagangan karbon bisa memberi manfaat nyata bagi masyarakat, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga perlindungan satwa.
Sebagai penutup, KPSHK mengajak media untuk berperan aktif dalam menyuarakan perdagangan karbon yang inklusif dan adil. “Media punya kekuatan untuk mengawal agar masyarakat tidak hanya jadi penonton dalam agenda iklim global,” tegas Djauhari.
Penulis: Hari Tri Wasono





