Bacaini.ID – Kondisi di tengah padang pasir Timur Tengah yang gersang, dua kekuatan besar tengah mengadu kekuatan dalam pertarungan yang bukan sekadar konflik bilateral. Iran dan Israel, dua negara yang terpisah ribuan kilometer, kini menjadi panggung pertunjukan kekuatan global yang lebih besar.
“Ini bukan lagi soal siapa yang akan rubuh, tapi siapa yang akan bertahan lebih lama,” ujar Pengamat Timur Tengah, Dr. Ryantori dari Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), menggambarkan situasi yang kini tengah berlangsung. Seperti permainan catur global, di belakang kedua negara ini berdiri sekutu-sekutu yang siap memberikan dukungan dan menjadikan krisis ini sebagai perang proksi antar dua kubu.
Di kubu Israel, Amerika Serikat dan Inggris berdiri paling depan. Keterlibatan AS semakin eksplisit setelah pernyataan Trump yang menyerukan dukungan untuk menggulingkan rezim Iran dan menuntut Ayatollah Khamenei menyerah tanpa syarat. Keputusan AS ini tak lepas dari kompleksitas industri militer dan kepentingan politik domestik yang tengah menghadapi masa-masa kritis.
Israel sendiri telah mengalami kerugian besar akibat agresi genosidanya di Gaza. Serangan ke Iran, yang diduga bertujuan menggagalkan Konferensi Palestina di New York Juni ini, semakin menambah beban finansial mereka.
Di sisi lain, Iran mendapat dukungan mengejutkan dari Arab Saudi – sebuah momentum penting mengingat kedua negara selama ini berseteru sebagai pemimpin regional dalam konteks Sunni-Syiah. Rusia dan Tiongkok tetap memberikan dukungan dengan cara mereka sendiri. Rusia dengan ancaman diplomatiknya terhadap keterlibatan Amerika, sementara Tiongkok diam-diam mentransfer teknologi ke Tehran. Pakistan, yang semakin dekat dengan Tiongkok melalui Jalur Sutra Modern, turut memberikan dukungan teknis yang signifikan.
Yang menarik adalah pertarungan teknologi persenjataan. Iran, yang selama ini dianggap inferior, ternyata menyimpan kejutan. Rudal Fatah, senjata hipersonik mereka, mampu menembus pertahanan Iron Dome Israel dengan tingkat kesalahan hanya 5-10 kilometer. Belum lagi Sejil, rudal yang bisa menembus atmosfer dan menghunjam vertikal, serta drone kamikaze Shahid 136 yang bisa dioperasikan secara masif.
Israel tidak kalah. Dengan dukungan teknologi Amerika, mereka memiliki drone Hermes dengan kemampuan stealth dan F-35 yang mematikan. Namun, keunggulan teknologi ini mulai dipertanyakan setelah Iran mengklaim berhasil menembak jatuh beberapa aset udara Israel.
“Ini bukan lagi perang konvensional,” kata Ryantori. “Ini adalah pertarungan teknologi dan proksi.” Dan memang benar. Di tanah Yaman, kelompok Houthi sudah mulai melancarkan serangan. Di Irak, kelompok Syiah siap membela Iran. Sementara Jordan dan Mesir, dalam posisi yang rumit, harus memilih antara solidaritas Arab atau kepentingan geopolitik dan nasional sendiri.
Yang mengkhawatirkan, konflik ini bisa berkembang menjadi perang darat yang lebih besar. Jika itu terjadi, peta Timur Tengah bisa berubah total. Israel membutuhkan akses melalui Irak atau Kuwait untuk menyerang Iran, sementara Iran memiliki jaringan proksi yang tersebar di seluruh kawasan.
Bagi Indonesia, Kementerian Luar Negeri harus memastikan isu Palestina tidak terpinggirkan di tengah konflik ini, sesuai amanat Pembukaan UUD ’45. Indonesia dapat memanfaatkan momentum ini untuk menyerukan dukungan melawan politik unilateral AS dengan menghidupkan kembali semangat Konferensi Asia Afrika Bandung dalam skala yang lebih besar.
Dampak ekonomi juga sudah terasa. Harga minyak terus merangkak naik, suplai energi terancam, dan arus perdagangan terganggu. Ditambah dengan konflik Ukraina yang mempengaruhi pasokan gandum, ketahanan pangan Indonesia menghadapi tantangan serius.
Satu-satunya harapan adalah peran “pawang” – Amerika Serikat yang bisa menekan Israel, serta Rusia dan Tiongkok yang bisa mempengaruhi Iran. Namun, bahkan jika gencatan senjata tercapai, program persenjataan Iran kemungkinan akan terus berlanjut, menjadikan kawasan ini tetap sebagai “powder keg” yang siap meledak kapan saja.
Penulis: Danny Wibisono
Editor: Hari Tri Wasono