Bacaini.id, KEDIRI – Ditengah usianya yang terbilang sudah senja, Subroto Kakek (78 tahun) terus berkreasi membuat wayang kulit tradisional. Usaha tersebut ia tekuni dengan tujuan melestarikan budaya Jawa.
Kakek yang kini bermukim di Desa Panjer, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri itu mengatakan, pembuatan wayang ini ditekuninya sejak ia berusia 15 tahun. Saat itu dirinya diajari oleh sang ayah yang merupakan pengrajin wayang sekaligus dalang pada eranya.
Subroto mengatakan, dalam pembuatannya ia masih memakai alat tradisional. Adapun wayang buatannya berbahan kulit lembu asli. Bahan tersebut ia dapat dari salah satu pengusaha kulit disana. “Saya menatah sendiri, alatnya terbuat dari besi, lalu dicat dengan kuas. Warna catnya sesuai karakter wayang dan keinginan yang pesan,” katanya.
Bahkan dirinya sendiri juga puluhan tahun menjadi gender atau penuntun suara saat mengikuti tanggapan wayang di Blitar. Keahlian tersebut juga dari keluarganya yang merupakan pecinta kesenian wayang tradisional sejak dulu.
“Saya terus mengasah keterampilan saya membuat wayang kulit, sejak bapak saya meninggal, saya yang jadi penerus usahanya sampai sekarang,” tutur kakek kelahiran 1942 itu.
Lambat laun usaha warisan dari bapaknya menjadi berkah baginya, wayang kulit buatannya semakin dikenal dan diminati masyarakat luas. Pesanan tidak hanya dari pelaku tanggapan seni wayang kulit tradisional, bahkan hingga kolektor wayang kulit menjadi pelanggannya.
Saat ini pesanan tidak hanya datang dari wilayah Kediri dan Jawa Timur, bahkan pengiriman dilakukan hingga Banyuwangi dan juga Sulawesi. “Yang di Sulawesi juga untuk tanggapan wayang, bukan untuk koleksi. Mereka tahu kualitasnya jadi mau pesan buatan saya,” tambahnya.
Sebelum masa pandemi, Subroto biasa membuat 50 buah wayang dengan ukuran kecil dan besar setiap bulannya. Dibanderol harga mulai Rp 400 ribu untuk wayang kecil hingga paling besar dan paling mahal mencapai Rp 3 juta, omzet sekitar Rp 7 juta didapatkannya setiap satu bulan.
Memasuki masa pandemi, dia terpaksa menurunkan harga pasaran wayang kulit buatannya. Wayang ukuran kecil dijual Rp 300 ribu, dan yang paling mahal dan besar seharga Rp 2,5 juta. Penurunan harga dilakukannya agar pelanggan tetap mau membeli wayang kulit buatannya.
Strategi itu ternyata mampu mendongkrak pesanan yang datang, di luar perkiraan turunnya harga jual menjadi aji mumpung bagi pelaku seni wayang kulit dan kolektor untuk memburu kerajinan wayang buatannya. Bahkan saat ini dia sedang menggarap 125 wayang kulit pesanan seorang dalang asal Blitar.
Walaupun peningkatan dan penurunan lebih sering terjadi secara bergantian, Subroto tetap konsisten dan produktif selama masa pandemi. Tidak hanya itu, omzet bulanan yang didapatkan juga meningkat.
“Sekitar 10 juta setiap bulan selama masa pandemi ini. Berapapun pesanan yang datang ya tetap saya terima dan saya buatkan sesuai keinginan pemesan,” papar Subroto.
Menurut Subroto, hal ini sebagai berkah dari ketekunannya, selain pendapatan meningkat dia juga tetap menjaga kelestarian budaya. Dia berharap generasi muda saat ini bisa ikut berperan lebih dalam melestarikan kebudayaan peninggalan nenek moyang dan tidak lupa akan sejarah.
“Saya berharap generasi muda jangan sampai melupakan seni wayang kulit ini karena sudah menjadi peninggalan jaman kuno dan sangat perlu dilestarikan,” tutup Subroto.
Penulis : Novira Kharisma
Editor : Karebet