Bacaini.id, KEDIRI – Sales adalah bagian dari aktivitas penjualan produk, barang, dan layanan yang dilakukan penjual ke pembeli. Sebelum teknologi online datang, penjualan dilakukan dari rumah ke rumah oleh salesman.
Jangan membayangkan jika pekerjaan sebagai seorang sales sama seperti era sekarang yang perlente dan tak berkeringat. Dengan dukungan teknologi internet, pemasaran dan penjualan cukup dilakukan secara online.
Menjadi sales di tahun 90-an adalah pekerjaan yang penuh tantangan dan derita. Seorang sales harus masuk dari rumah ke rumah untuk menawarkan barang. Tak sedikit dari mereka yang mendapatkan perilaku kurang menyenangkan dari pemilik rumah. Ini karena stigma sales yang dikenal sedikit memaksa calon konsumen untuk membeli.
Derita menjadi sales keliling pernah aku rasakan saat bekerja di sebuah perusahaan yang menjual pisau dapur dan ikat pinggang. Pekerjaan itu kudapatkan dari surat kabar yang memajang informasi lowongan pekerjaan area Kediri. Berikut bunyi lowongan itu:
Sebuah perusahaan multinasional membutuhkan karyawan untuk posisi: Manager, Supervisor, Marketing. Alamat kantor berada di Jalan Soekarno – Hatta Kabupaten Kediri.
Sebagai sarjana lulusan perguruan tinggi negeri, aku melamar untuk posisi manager. Hanya menunggu sehari setelah memasukkan lamaran aku mendapat panggilan untuk wawancara.
“Anda melamar jadi manager kan. Calon manager harus faham pekerjaan anak buahnya, termasuk sales. Biar punya pengalaman saat menjadi manager, besok pagi Anda ke sini memakai kemeja lengan panjang dan sepatu,” kata pewawancara yang mengenakan setelan kemeja dan dasi.
Esok pagi aku sudah tiba di kantor yang lebih mirip rumah kontrakan itu. Di sana sudah ada belasan anak muda seusiaku. Semuanya berbaju rapih dan mengenakan sepatu pantofel hitam, termasuk aku.
Tepat pukul 07.30 WIB kami dikumpulkan ke ruang tengah. Berdiri mengelilingi ruangan menghadap tembok. Kami saling membelakangi. Dari tengah terdengar instruksi yang harus kami tirukan.
“Selamat siang bapak. Maaf mengganggu waktunya sebentar saja. Saya punya hadiah buat bapak kalau bisa menjawab kuis ini. Siapa nama pembaca acara kuis Familiy 100 di televisi,” kata instruktur itu. Familiy 100 adalah nama program kuis di televisi yang sedang populer saat itu. Sehingga dipastikan banyak yang tahu nama pembawa acaranya, Soni Tulung.
“Jika dia menjawab benar, langsung beri ucapan selamat. Segera berikan satu paket pisau dapur sebagai hadiah, dengan hanya mengganti setengah biaya produksi sebesar Rp50 ribu,” katanya lagi.
Kami juga diminta memberitahu jika harga normal satu set pisau dapur itu adalah Rp150.000. Sehingga sayang jika calon konsumen itu melewatkan kesempatan membeli dengan harga murah. Apalagi stok barang masih terbatas dan belum dijual di pasaran.
Satu kalimat terakhir yang masih aku ingat sebagai penutup pelatihan itu adalah, “Jangan malu, anggap saja mereka tembok seperti yang kalian hadapi saat ini”.
Terjun lapangan
Setelah mendapat pelatihan singkat, kami dibagi dalam beberapa kelompok, terdiri dari satu cewek dan tiga cowok. Terdapat satu atau dua senior di tiap kelompok. Masing-masing dibekali tas berisi pisau dapur dan ikat pinggang untuk dipasarkan.
Sampai di titik itu aku sempat ragu, meneruskan mengikuti pekerjaan ini atau mundur. Sebab tak sedikit pelamar yang aku lihat pamit usai mengetahui diminta jualan pisau. “Mau pulang malu sama keluarga. Terus saja,” pikirku.
Sepuluh menit berikutnya aku sudah berada di atas bus yang membawa kelompokku ke arah Blitar. Sepanjang perjalanan aku melamun, membayangkan kejutan apa lagi yang akan aku hadapi. Sampai tiba-tiba seniorku mengajakku turun di pertigaan gapura masuk Kota Blitar.
Aku turun mengikuti kelompokku masuk ke warung pinggir jalan. Aku hanya memesan teh saat ditawari sarapan oleh seniorku. “Jangan malu, habis ini kita butuh energi besar,” katanya sambil menyantap nasi pecel.
Setelah beristirahat sejenak, kami memulai perjalanan menjual pisau dan ikat pinggang. Seperti kerbau dicocok hidungnya, aku mengikuti langkah seniorku sambil menenteng tas. Menyusuri jalanan kampung yang sebagian tidak beraspal.
“Selamat pagi ibuk, aduh senyumnya ceria sekali pagi ini. Sepertinya merasa akan dapat hadiah ya,” kata seniorku kepada ibu-ibu yang menyapu halaman. Aku sempat menatap wajah ibu itu yang jauh dari ceria. Bahkan terlihat tidak menyukai kehadiran kami.
Temanku tetap cuek. Rangkaian kalimat soal kuis Family 100 meluncur dari mulutnya. Sebelum akhirnya berhenti setelah ibu itu tiba-tiba ngeloyor masuk rumah. “Gak papa bro, lanjut terus,” katanya padaku.
Kami berpindah rumah dan mengulang kalimat template kuis Family 100. Begitu seterusnya hingga puluhan rumah berlalu tanpa satupun yang nyantol. Keringat mulai membasahi kemeja kami, meleleh hingga ke dalam kaus kaki.
Sampai akhirnya kami masuk ke sebuah rumah yang cukup megah, yang ternyata adalah rumah pemilik toko meubel. Seorang ibu paruh baya mempersilahkan kami duduk di teras. Menyodorkan air mineral di atas meja.
Usai temanku mengulang kalimat duplikasinya, ibu itu masuk ke dalam rumah. Aku sempat berpikir jika dia menolak membeli dan tak keluar lagi.
Dugaanku meleset. Ibu itu kembali sambil memberikan uang Rp50 ribu kepada temanku. Pisau dapur kami diambil. “Saya teringat anak ibu yang seusia kalian. Hati-hati di jalan ya,” katanya setelah menyelipkan tiga air mineral gelas ke dalam tas kami.
Ah, rupanya ibu itu membeli karena kasihan. Tapi tak masalah. Dalam teori penjualan motif tidak mempengaruhi hasil. Kami melangkah dengan kepala tegak. Merasa sudah seperti pengusaha yang sukses menjual properti ratusan juta.
Sayangnya angan itu terlalu dini bagi kami. Aku yang diminta mengambil alih kendali penawaran justru kerap mendapat sikap kurang menyenangkan. Seperti ucapan ‘orangnya tidak ada, tanggal tua, siang-siang ganggu orang tidur’, hingga diusir sebelum menginjak teras.
Perlakuan paling mengesalkan adalah saat masuk ke kantor balai desa. Bukannya membeli, para perangkat di sana hanya meledek pisau dan ikat pinggang yang kami tawarkan. Berbagai kelakar diucapkan untuk sekedar menghibur mereka. Sementara aku dan temanku hanya bisa tersenyum pahit.
Selepas adzan Ashar perjalanan kami sudah sangat jauh. Aku bahkan tak bisa mengingat rute yang kami lewati, sebelum akhirnya sampai di perempatan Togogan, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Sangat jauh dari lokasi pemberhentian kami pagi tadi. Kedua kakiku serasa dicor, kaku dan berat. Aku selonjor di tepi jalan, mencegat bus yang melaju ke arah Kediri.
Tiba di kantor kami memberi laporan hasil penjualan. Setiap satu set pisau yang laku kami setorkan Rp40.000 ke kantor. Kata temanku, bos kantor setor ke bos besar Rp30.000 per pcs. Demikian seterusnya hingga ke bos-bos lain yang tidak pernah aku ketahui sampai sekarang.
“Karena kamu anak magang, belum bisa mendapat uang penjualan. Besok temani saya lagi sampai kamu benar-benar mahir berjualan,” kata temanku sambil memasukkan uang puluhan ribu ke kantongnya.
Sekitar jam 17.30 WIB menjelang adzan Maghrib aku kembali ke rumah. Melewati kakak dan ibuku yang duduk di depan televisi, dan langsung merebahkan diri di ranjang kamar. Sore itu aku tak ingin menonton acara Family 100.
Penulis: Hari Tri Wasono
Tonton video: