Bacaini.id, MALANG – Kisah seram ini ditulis dari pengalaman seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri saat mengikuti diklat di rumah penduduk. Dia mengalami ketakutan hingga pergi dari desa itu akibat mengabaikan peringatan warga.
Awalnya mahasiswi asal Kediri ini tak bersedia menceritakan kisah yang dialaminya di desa itu. Dia mengaku masih trauma dan sangat ketakutan jika mengingat peristiwa tersebut. Namun dengan pendekatan halus, mahasiswi itu (sebut saja Wulan) mau mengorek kembali ingatannya.
“Sebenarnya saya masih takut. Tidak mudah melupakan peristiwa yang membuat saya trauma,” katanya kepada bacaini.id di sebuah café, Kamis, 5 Januari 2023.
Setelah meneguk kopi latte di depannya, Wulan memulai cerita dengan nafas berat.
“Saat itu saya masih semester satu setelah diterima di perguruan tinggi negeri di Malang. Saya masih senang-senangnya ikut kegiatan kampus,” katanya.
Ketika duduk di selasar kampus, Wulan didatangi teman satu kosnya bernama Rina. Dia mengajak ikut kegiatan diklat kepemimpinan yang diselenggarakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa.
Awalnya Wulan tidak tertarik. Namun pikirannya berubah ketika mengetahui jika kegiatan itu dilaksanakan di sebuah desa di Pujon. Acara digelar selama dua hari, dengan semua peserta diwajibkan tidur di rumah warga. “Wah, asyik nih bisa sekalian wisata di Pujon,” pikirnya.
Saat itu juga Wulan dan temannya mendaftar di sekretariat UKM. Informasi dari panitia menyebutkan jika jumlah peserta diklat sebanyak 25 orang. Mereka akan dibagi ke dalam beberapa kelompok dan menempati rumah berbeda.
Sampai waktu pemberangkatan tiba, Wulan sudah bersiap dengan perbekalan pakaian dan jajanan. Dia khawatir tak menemukan toko atau warung di desa itu.
“Kamu gak lupa bawa perlengkapan sholat kan?” tanya Rina. Wulan menggeleng. Sudah dua hari ini dia mengalami menstruasi sehingga tidak sholat.
Mengendarai minibus yang disewa panitia, para mahasiswa peserta diklat meluncur dari kampus menuju Pujon. Suasana kota yang ramai berubah menjadi adem dan tenang saat mobil yang dikendarai memasuki kawasan Pujon. “Nanti kita main air ya,” celetuk Rina dengan antusias.
Tiba di desa yang dituju iring-iringan mobil berhenti. Wulan tersenyum lebar karena pemandangan yang dilihatnya sesuai ekspektasi. Sejuk dan tenang. Langit terlihat seperti petang meski jam masih menunjukkan pukul 14.00 WIB.
Lamunannya tentang rencana jalan-jalan buyar ketika panitia meminta mereka untuk berbaris. Sebanyak 25 mahasiswa dibagi menjadi tiga kelompok. Wulan kebagian rumah paling dekat dari pos pemberhentian mereka. Sedangkan dua rumah lainnya berjarak cukup jauh.
Sebelum berpisah untuk menempati rumah masing-masing, salah satu kakak tingkat yang menjadi penanggung jawab acara memberi pesan. “Tolong jaga kebersihan selama di desa ini. Jangan membuang sampah dan rajin membersihkan diri,” katanya.
Para peserta pun membubarkan diri menuju rumah yang diinapi. Besok pagi mereka sudah harus mengikuti kegiatan diklat.
Dengan menenteng tas ransel, Wulan berjalan menuju rumah tempat tinggalnya. Bersama dia ada delapan mahasiswa yang tinggal di rumah itu.
Rumahnya lumayan bagus dan bersih untuk ukuran penduduk desa. Halamannya luas dengan ukuran kamar yang besar. Meski tidur di karpet, namun cukup lega untuk ditempati. Lokasi tidur mereka juga dibagi menjadi dua kamar dengan komposisi empat mahasiswa dan empat mahasiswi. Sementara pemilik rumah tidur di kamar paling belakang.
Satu-satunya keluhan dari rumah itu adalah posisi kamar mandi yang terpisah. Ada dua bilik kamar mandi yang letaknya di samping rumah bagian belakang. Kamar mandi itu berdiri di bawah pohon bambu yang rimbun hingga menambah kesan suram. Apalagi pemilik rumah memasang bola lampu di tembok penyekat agar bisa menerangi dua bilik sekaligus. Ukuran bola lampunya juga kecil sehingga membuat ruangan bilik terasa remang dan kuning.
“Jangan meninggalkan kotoran di kamar mandi ya, Mbak. Kalau bisa sebelum Maghrib sudah mandi semua, biar bersih,” pesan pemilik rumah. Pesan standar mengulang pesan panitia acara tadi.
Jam 16.30 WIB para peserta diklat sudah mulai mandi. Air sumur yang dingin menyegarkan badan usai menempuh perjalanan dari kampus ke Pujon. Beruntung jumlah bilik mandinya ada dua, sehingga antreannya tak terlalu lama.
“Kamu gak mandi?” tanya Rina. Wulan menggeleng. Karena tidak berkewajiban sholat, Wulan memutuskan tidak mandi sore itu. Namun dia tetap mengantre di depan kamar mandi untuk mengganti pembalut. Wulan mempersilahkan teman-temannya mandi terlebih dulu.
Tiba giliran Wulan, dia masuk ke dalam bilik dekat sumur. Usai mengganti pembalut, dia membungkusnya dengan kertas dan dimasukkan ke dalam tas kresek. Proses itu tak lebih dari lima menit saja. Wulan kembali keluar kamar mandi menyusul teman-temannya. Mereka sudah rapi di teras rumah menikmati udara segar.
Namun baru saja mengambil kursi untuk duduk, Wulan kembali berdiri. Dia bergegas kembali ke kamar mandi. Rupanya Wulan lupa untuk membuang bekas pembalutnya dan tetap meletakkan di sudut lantai. “Duh, semoga pemilik rumah belum masuk,” pikirnya.
Dari jarak lima meter dengan kamar mandi Wulan memperlambat jalannya. Dia sempat ragu untuk kembali masuk. Suasana halaman belakang rumah terasa menyeramkan dengan derit pohon bambu di sekitar bilik mandi. Tak ada seorang pun di sana selain dirinya. Namun dia meneruskan masuk ke kamar mandi untuk cepat-cepat membuang pembalutnya.
Saat jaraknya kurang satu meter dari bilik mandi, Wulan berhenti. Dia melihat seorang perempuan berada di dalam kamar mandi. Perempuan itu membelakanginya dengan posisi membungkuk ke arah tempatnya meletakkan pembalut bekas. Dia tampak serius memandangi pembalut di sudut ruangan.
Belum sempat Wulan membuka mulut, perempuan itu menoleh ke arahnya. Rambutnya panjang tergerai. Perempuan itu melemparkan senyuman sinis kepada Wulan dengan tatapan mata tajam. Senyuman itu lebih mirip seringai.
Spontan Wulan membalikkan badan dan berlari kencang menuju teras sambil berteriak. “Tolong, ada hantu,” teriaknya.
Teriakan itu membuat teman-temannya panik dan menyusul ke belakang. Mereka mendapati Wulan terengah-engah sambil berpegangan pada tembok. Kedua lututnya lemas. Wulan limbung dan tak mampu lagi berdiri.
Pemilik rumah menghampiri dengan segelas air. Wulan diminta minum dan menenangkan diri. “Tenang dulu, Mbak. Istighfar,” katanya.
Setelah menenangkan diri, Wulan menceritakan apa yang baru saja dilihatnya di kamar mandi. Semua temannya terkejut, kecuali pemilik rumah.
“Itu tadi kenapa bapak pesan supaya menjaga kebersihan. Dia menyukai hal-hal yang kotor, apalagi sesuatu yang amis seperti darah,” katanya.
Wulan makin lemas. Sore itu juga dia minta diantar pulang ke kosan di Malang. Wulan mengundurkan dari diklat yang belum dimulai.
Penulis: Hari Tri Wasono
Tonton video: