Bacaini.id, KEDIRI – Penerapan PPKM yang berujung larangan beroperasinya obyek wisata membuat pengelola Tempat Wisata Pagora Kediri kelabakan. Selain menghidupi puluhan karyawan, tempat ini juga merawat banyak satwa yang membutuhkan makan.
Sejak dilarang beroperasi pada April 2020 lalu, Taman Wisata Pagora tak lagi mendapatkan pemasukan. Pengelola dipaksa memutar otak untuk memenuhi biaya operasional harian. “Kami tak ingin melakukan PHK,” kata Priyo Prasojo, Sekretaris Pengelola Yayasan Pagora kepada Bacaini.id, Kamis 19 Agustus 2021.
Taman wisata air terbesar dan tertua yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Banjaran, Kota Kediri ini kembang kempis mempertahankan usaha. Mereka terpaksa melakukan pemberlakuan jam kerja bergilir untuk menghemat gaji karyawan. Meski bukan keputusan populis, namun itu adalah satu-satunya jalan untuk mempertahankan usaha agar tidak gulung tikar.
Berbeda dengan karyawan yang bisa dinegosiasi, tidak demikian dengan satwa yang ada di sana. Pengurangan jatah makan akan berdampak pada matinya hewan-hewan yang dipelihara. Taman Wisata Pagora memiliki koleksi burung, ular, beruang, hingga babi hutan.
Meski kesulitan, pengelola tetap berusaha mencukupi kebutuhan makan, kesehatan, hingga kebersihan kandang binatang. “Untuk nutrisi makanan satwa tidak bisa dikurangi, setiap hari kami tetap keluarkan biaya sebesar 500 ribu untuk pakan,” terang Priyo.
Selama ini biaya tersebut dibebankan pada penjualan tiket pengunjung. Namun sejak loket ditutup, tak ada lagi pemasukan yang bisa diraih.
Menurut Priyo, Pagora sempat buka selama dua bulan sebelum akhirnya kembali ditutup karena PPKM.
Sewa Ruko
Dalam kondisi sulit seperti ini, Pagora hanya mengandalkan pemasukan dari menyewakan ruko di sekitar lokasi wisata. Mereka juga mendapat donasi dari pecinta satwa yang peduli dengan hewan-hewan di sana. “Sampai saat ini kami belum mendapat bantuan dari pemerintah,” kata Priyo.
Uang sewa ruko milik Yayasan Pagora itulah yang diputar untuk membayar 49 karyawan yang masih bekerja. Dalam satu hari ada sembilan orang yang bekerja dan satu satpam yang berjaga sampai malam.
Karena tak ada pengunjung yang dilayani, mereka hanya menjaga kebersihan tempat wisata seluas 7,6 hektar dan merawat binatang. “Kita masih bisa hidup dari aset sewa ruko mulai ujung selatan sampai utara. Kalau hanya mengandalkan tiket kita sudah kolaps,” tambah laki-laki 61 tahun itu.
Beban pengeluaran tempat wisata ini cukup tinggi. Pajak yang dikeluarkan dalam setahun lebih dari Rp 100 juta. Belum biaya lain seperti tagihan listrik, biaya pengisian air kolam dan BPJS tenaga kerja untuk karyawan.
Pengelola Pagora bukan satu-satunya pihak yang terpuruk di tempat itu. Para penjual makanan di dalam lokasi wisata juga gulung tikar akibat penutupan obyek wisata ini. Mereka diwajibkan membayar uang sewa ruko meski operasional Pagora berhenti.
“Selama ini Pagora juga menjadi tempat mengais rejeki bagi banyak orang. Kita sendiri juga kesulitan, karena hasil penjualan tiket itu pengaruhnya besar. Saya sudah mengajukan bantuan ke Pemkot, sampai sekarang belum dipenuhi,” pungkasnya.
Penulis: Tiza Seftiana & Dilawati
Editor: HTW
Tonton video: