Bacaini.ID, KEDIRI – Gudang Garam Kediri adalah ‘kerajaan’ bisnis. Ibarat raja yang sudah lengser keprabon, Tjoa Ing Hwie kembali naik tahta memimpin perusahaan.
Tampuk kepemimpinan perusahaan rokok Tjap Gudang Garam (GG) Kediri yang sudah dipercayakan kepada putra sulungnya (Rahman Halim), kembali “diambilnya”.
Peristiwa perjalanan pasang surut bisnis Gudang Garam itu terjadi pada tahun 1984, setahun sebelum Tjoa Ing Hwie tutup usia.
Umur Ing Hwie sudah 61 tahun (lahir 1923). Selama empat tahun atau mulai tahun 1980 sudah tidak lagi menyentuh urusan tetek bengek perusahaan (Gudang Garam). Ia sudah menyatakan pensiun.
Kesehatan Ing Hwie juga tidak lagi prima. Tidak sekuat saat pertama kali menggeluti bisnis rokok. Bahkan kala itu sudah sakit sakitan.
Namun disisi lain bisnis rokok justru semakin bergairah. Seiring usia Ing Hwie yang bertambah uzur, persaingan bertambah sengit.
Soal produksi rokok misalnya. Revolusi mesin kretek yang bergaung di era 70-an telah mendorong pabrik rokok menggeser cara produksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) berubah Sigaret Kretek Mesin (SKM).
Selain terobosan agar perusahaan kian maju, revolusi itu sekaligus momok bagi perusahaan yang tetap mempertahankan gaya produksi SKT.
Sebab dengan SKM produksi lebih cepat sekaligus lebih banyak menghasilkan batang rokok. SKM lebih produktif ketimbang lintingan tangan manusia (SKT).
Namun dampaknya akan menciptakan pengangguran. Jam kerja buruh akan terkurangi. Jam lembur dihapus yang itu berimbas pada susutnya upah.
Misalnya perusahaan rokok Bentoel Malang. Sudah menerapkan (SKM) lebih awal, bahkan sejak tahun 1968.
Perusahaan rokok Djarum Kudus menyusul kemudian, pada tahun 1976. Dengan cara produksi SKM, Djarum Kudus mampu menggeser posisi terbesar ketiga yang sebelumnya diduduki perusahaan rokok Nojorono.
BahkanDjarum mampu merebut market share Gudang Garam. Volume penjualan Gudang Garam turun 10 persen atau kehilangan pasar 2,067 juta batang rokok.
Kalau tak ingin tertinggal dan berakhir kalah, Gudang Garam Kediri harus mengikuti tren produksi.
Produksi rokok Gudang Garam tidak bisa hanya bergantung dari menambah jumlah buruh linting. Cara produksi SKM yang dimulai tahun 1979 harus diperluas.
Namun di sisi lain segala aspek perusahaan: sistem manajemen, meracik saus, promosi dan pemasaran, masih sepenuhnya bergantung pada sosok Ing Hwie.
Belum lagi masalah kertas sigaret atau pembungkus tembakau dan cengkeh yang terus terusan impor. Selain ketergantungan juga tidak menguntungkan.
Hal itu yang membuat Ing Hwie tidak bisa menikmati masa pensiun dengan tenang.
Karenanya, meski sakit dan mulai tertatih tatih, Ing Hwie harus comeback. Ia harus turun tangan untuk mengimbangi ekspansif para kompetitor.
Memutus Ketergantungan Impor
Dalam catatan buku Ensiklopedia Kretek tertulis Ing Hwie melakukan terobosan kongsi atau patungan usaha.
Bos Gudang Garam Kediri itu membuat usaha bersama dengan Probosutedjo, adik tiri Presiden Soeharto. Sebuah usaha produksi kertas sigaret kualitas super.
Usaha yang diberi nama Surya Zig Zag. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan rokok Gudang Garam Kediri.
Kertas sigaret kualitas super hasil produksi Surya Zig Zag juga dijual kepada para pesaing. Terobosan bisnis ini memutus ketergantungan pada kertas sigaret impor.
Ing Hwie juga meluaskan SKM yang sudah dimulai tahun 1979. Sedikitnya 30 unit mesin baru (SKM) didatangkan.
Seiring perluasan ini produk baru tercipta. Produk yang kelak jadi rokok legenda itu bernama Surya. Merek yang diilhami nama Indonesia Ing Hwie, Surya Wonowidjoyo.
Rokok Surya yang mulai dipasarkan pada tahun 1986 itu menjadi merek andalan Gudang Garam hingga sekarang.
Sosok ulet dan tahan banting
Dengan meluaskan cara produksi SKM, produksi rokok Gudang Garam Kediri melonjak dua kali lipat.
Dari sebelumnya 9,102 miliar batang rokok per tahun, menjadi 17,867 miliar per tahun.
Meningkatnya produksi Gudang Garam untuk memenuhi kebutuhan pasar yang semakin berkembang.
Utamanya pasar luar negeri: Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina dan Brunei Darussalam. Pada saat yang sama Gudang Garam merintis pasar di Jepang, Hongkong, Makau dan Arab Saudi.
Tjoa Ing Hwie terkenal memiliki jiwa bisnis yang ulet, berani dan tahan banting.
Keputusannya keluar dari perusahaan rokok NV 93 Kediri dan merintis usaha sendiri (Gudang Garam) merupakan salah satu keuletannya.
Menurut sejarawan Dukut Imam Widodo, keuletan Tjoa Ing Hwie tidak lepas dari petuah Tjoa Kok Tjiang, pamannya yang juga pemilik rokok NV Tjap 93.
“Percayalah pada dirimu apapun kata orang itu bukan masalah,” ungkap Dukut dalam rangkaian acara ulang tahun PT Gudang Garam ke- 60 di kawasan wisata Gunung Bromo, Pasuruan.
Ucapan itu kata Dukut disampaikan Tjoa Kok Tjiang saat Tjoa Ing Hwie menyampaikan keinginan punya pabrik rokok sendiri.
Gudang Garam lahir
Tjoa Ing Hwie adalah seorang perantau sejati. Masih berumur 3 tahun (versi lain 4 tahun) ia dibawa orang tuanya berimigrasi ke Hindia Belanda.
Mereka merupakan warga di Provinsi Fujian, Cina Selatan. Mengenakan celana kolor dipadu baju nilon model Tionghoa, bocah Ing Hwie dikisahkan berhimpitan dengan penumpang kapal lain.
Perjalanan panjang demi tujuan mengubah nasib itu berhenti di Sampang, Madura.
“Saat itu Sampang juga termasuk wilayah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda,“ kata Dukut.
Pada usia belasan tahun, Ing Hwie yang kemudian bisa bercakap bahasa Melayu, Madura dan Jawa, hijrah ke Kediri.
Perpindahan Ing Hwie ke Kediri untuk menemui Tjoa Kok Tjiang, pamannya, sebab sang ayah telah meninggal dunia.
Tjoa Kok Tjiang di Kediri dikenal sebagai pengusaha rokok kretek NV Jiao San yang berdiri tahun 1940. Pada tahun 1950-an berubah nama NV Tjap 93.
Sejak tahun 1928, bisnis rokok kretek di wilayah Jawa Timur, khususnya Blitar, Tulungagung dan Kediri diketahui lebih dulu bergeliat.
Produksi rokok di kawasan segitiga Brantas (Blitar, Tulungagung, dan Kediri) itu adalah yang terbesar.
Lebih besar ketimbang Surabaya, Nganjuk, Madiun, Bojonegoro, Besuki Ponorogo, Tuban, Sidoarjo, Mojokerto dan Jombang.
Maraknya pabrik rokok kretek di Jawa Timur dipengaruhi situasi politik di Kudus Jawa Tengah.
Konflik rasial pada tahun 1918 mengakibatkan banyak orang Tionghoa dari Kudus hijrah ke Jawa Timur. Keterbatasan pemenuhan pasar Jawa Timur juga jadi faktor.
Perpindahan orang-orang Tionghoa ke Jawa Timur itu membawa modal dan pengetahuan tentang rokok kretek.
Sementara Ing Hwie yang bekerja melinting rokok di NV 93, posisinya meningkat. Dari buruh linting menjadi salah satu direktur.
Namun ia memilih keluar dan mendirikan usaha rokok sendiri. “Awalnya memproduksi rokok klobot yang diberi nama Inghwie, “tutur Dukut.
Istilah klobot atau strootjes (Belanda red) merujuk pada pembungkus tembakau, cengkeh, dan saus atau daun jagung kering (maisblad).
Namun ada juga klobot yang memakai pembungkus kawung (daun aren). Di beberapa daerah dicampuri klembak dan taburan kemenyan.
Rokok klobot berbentuk konus atau jirus: mengecil pada bagian yang dihisap dan membesar di bagian dibakar.
Kemudian diikat jingo (tali) yang diproduksi dengan menggunakan tangan (roll sigaret). Karenanya klobot digolongkan sigaret kretek tangan (SKT).
Setelah berproduksi dua tahun, home industri rokok klobot tjap Inghwie berganti nama Gudang Garam. Pergantian nama itu berlangsung pada 26 Juni 1958.
Pergantian nama Gudang Garam terinspirasi dari bangunan gudang penyimpanan garam yang berada di depan pabrik kretek tjap NV 93.
Versi lain menyebut inspirasi nama Gudang Garam datang dari mimpi. Mimpi yang diwujudkan itu berjalan sampai sekarang.
“Mimpi itu (gudang penyimpanan garam) terulang lagi. Dan Ing Hwie menganggap sebagai petunjuk yang harus dijalankannya,” pungkas Dukut.
Penulis: Solichan Arif