Bacaini.ID, JAKARTA – Kemenangan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024 menjadikan Partai Gerindra sebagai partai penguasa. Meski bukan sebagai partai pemenang, para elit politik melihat tren penguasa baru, berbondong-bondong pindah ke Gerindra, dari relawan, kader partai lain, kepala daerah dan jabatan publik lainnya.
Fenomena ini memaksa Partai Gerindra waspada dalam menerima kader baru dari golongan elit tinggi partai lain, yang hanya bergabung dengan tujuan mencari perlindungan semata selama berkuasa, seperti kepala daerah, menteri, wakil menteri, dan jabatan lainnya.
Ambil dua contoh aktual. Pertama, Immanuel Ebenezer (Wamenaker) yang merupakan anggota/kader Gerindra: terjaring OTT KPK, kemudian ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemerasan terkait sertifikasi K3; setelah itu dicopot melalui Keppres, dan Gerindra melalui Sekjen Partai, Sugiono menyatakan akan mencabut KTA-nya. Kasus ini menunjukkan betapa mahalnya ongkos reputasi dari rekrutmen yang tak disaring dengan benar.
Kedua, Bobby Nasution—resmi bergabung dengan Gerindra sejak 2024 dan kini Gubernur Sumut—menghadapi sorotan publik setelah anak buahnya, Kadis PUPR Sumut, ditangkap KPK dalam OTT proyek jalan. Hingga awal Agustus, KPK menyatakan belum ada pengajuan pemeriksaan terhadap Bobby; namun otoritas antikorupsi menegaskan pemanggilan dimungkinkan bila ditemukan indikasi. Ini peringatan keras: “transfer” tokoh populer tidak otomatis aman bagi reputasi partai. Fakta menunjukkan jika kader pindahan tersebut justru terlibat korupsi dan akan memperburuk nama partai Gerindra di pemilu mendatang
Gelombang migrasi kader dari partai ke partai selalu memuncak ketika kekuasaan sedang beralih dan menuju kokoh. Sebagai partai penguasa, godaan untuk menampung para elite pindahan terasa nyata. Sebab mereka membawa jaringan, anggaran, dan panggung media. Namun yang perlu diingat, penerimaan tanpa saringan ibarat membuka pintu darurat: cepat, tetapi berisiko menyalakan api di dalam rumah sendiri.
Pengalaman politik Indonesia mengajarkan, tidak sedikit elit yang pindah bukan untuk berbagi visi, melainkan mencari perlindungan saat kasus, proyek, atau relasi kuasanya mulai retak. Mereka datang dengan rombongan kepentingan, bukan rekam jejak pelayanan.
Ketika kemudian tersandung korupsi, publik jarang mengingat partai lama mereka; yang disorot adalah bendera tempat mereka terakhir berlabuh. Dalam logika pemilu, reputasi yang tercoreng lebih mahal dari tambahan kursi.
Karena itu, Gerindra harus menetapkan pagar yang tegas. Pertama, due diligence serius terhadap harta, perkara hukum, dan konflik kepentingan, bukan sekadar testimoni politik.
Kedua, masa karantina dan uji publik, agar masyarakat menilai transparan. Ketiga, kontrak integritas yang mengikat sanksi politik dan finansial bila melanggar. Keempat, prioritas pada kader internal dan figur lokal berprestasi, sehingga kultur partai tidak “diakuisisi” oleh pendatang instan atau indekostan.
Fenomena pindah partai saat ini seperti fenomena pindah pemain sepak bola, justru jarang terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
Jangan lupa, mekanisme kaderisasi yang kuat adalah filter paling efektif. Pendidikan politik rutin, pelaporan LHKPN internal, bahkan whistleblowing anonim perlu difungsikan. Komite etik independen yang melibatkan tokoh masyarakat dan akademisi dapat memberi rekomendasi objektif. Transparansi proses ini akan mengirim sinyal jelas: partai melindungi warga, bukan para pesakitan. Kepercayaan publik lahir dari konsistensi, bukan kalkulasi sesaat politik.
Di akar rumput, konsolidasi harus menegaskan bahwa jalan cepat bukan selalu jalan benar. Partai besar justru diuji oleh kemampuannya menolak godaan oportunisme. Memilih sedikit tapi solid lebih bernilai daripada ramai namun rapuh.
Pada akhirnya, politik rekrutmen adalah investasi reputasi. Jika partai penguasa ingin bertahan melampaui satu siklus kekuasaan, maka setiap kader baru harus lolos dua hal: komitmen pada agenda publik, dan kebersihan jejak. Tanpa itu, kemenangan hari ini bisa berubah menjadi beban elektoral esok hari.
Penulis: Danny Wibisono*
*)Kepala Litbang Bacaini.ID